Penantian Kosong
Musim hujan
belum juga berhenti berganti musim panas yang aku tunggu. Sama seperti aku yang
selalu menunggu kehadiran seorang ibu di pelukan hangatku. Aku tidak pernah tau
mengapa aku berbeda dengan remaja lainnya yang berhak mendapat kasih sayang
seorang ibu. Ataukah aku bukan anak yang beruntung?
“Mey, ayo masuk
ke rumah, di luar dingin sekali.”
“Akankah aku
tidak pernah melihat ibu setiap malam, kak?”
“Kamu, kan,
sudah dewasa. Pasti kamu tahu ibu kemana.”
“Maksud kakak?”
“Sudah 10 tahun
kita ditinggal ayah. Kamu tahu, kan, bagaimana kondisi kita semua sejak itu.
Ibu banting tulang demi kita, kamu dan kakak. Ibu berjuang demi kita. Kakak
harap kamu tidak kecewakan ibu.” kak Sinta meninggalkanku dengan isak
tangis.Aku pun tetap menunggu sampai ibu pulang. Tak ku hiraukan walapun dingin
menusuk tulang. Selimut dari kak Sinta pun tak menghangatkan tubuhku sebelum
aku mendapat pelukan ibu.
Hari ini kak Sinta
bangun pagi sekali, tak seperti biasanya. Dia bekerja setiap pagi sampai sore.
Demi membantu ibu dia rela tak melanjutkan kuliah. Sedangkan aku, masih duduk
di bangku SMA.
“Mey, kakak hari
ini tidak bisa pulang temani kamu. Kakak ada pekerjaan di Jakarta untuk
menggantikan bos kakak.”
“Kapan kakak
pulang?” tanyaku sambil mengambil roti sisir.
“Kak Sinta juga
nggak tau, Mey. Tapi kakak janji kalau sudah selesai pasti kakak akan pulang.”
Sambil menatap mataku tajam.
“Kakak janji?” ku
ulurkan jari kelingkingku.
“Janji!” dia juga
mengulurkan jari kelingkingnya. “Eits, tapi Meysa juga harus janji sama kakak.”
“Apa?”
“Mesya janji nggak
akan menunggu ibu sampai larut malam. Sekali ini saja Mey, jangan buat kakak
khawatir dan tidak nyaman bekerja. Kamu tahu kan ini semua untuk siapa?”
Aku sedikit ragu menjawab janji kakak. Aku pun juga tak tahu kapan
ibu akan pulang. Aku bimbang dan hanya termenung menatap mata kakak yang
berkaca-kaca.
“Mey?” tangan
kakak membelai rambutku dengan kasih sayang.
“Ehm, iya kak, aku
janji.” Kak Sinta memelukku dan meneteskan air mata. Entah mengapa hatiku
terasa miris ketika kakak memelukku. Hatiku tak rela jika aku terlepas dengan
kakak, walaupun hanya sehari saja. Kakak lah yang selama ini memberikan kasih
sayang pengganti ibu yang tak pernah ada di sisiku.
“Pagi Mey.” Mery
menyambutku dengan wajah yang sumringah.
“Pagi juga Mer.
Gembira banget, sih, kamu. Ada apa?”
“Yahh, pasti belum
tau ya? Besok malam, kan, ada acara ESQ di sekolah. Dan ortu juga ikut serta
lho Mey. Itu kan kesempatan buat kita gabung sama ortu.”
“Yeah, mungkin
buat kamu ini kesempatan bagus. Tapi... mungkin belum untuk aku Mer.” Ku coba
bertahan tegar agar tidak menangis, tetapi tidak bisa.
“Mey, dont be sad!
Aku... aku tahu keadaan kamu. Tapi aku yakin kamu bisa buktikan ke temen-temen
kalau kamu punya ibu yang sayang sama kamu. Bagaimana pun yang namanya ibu
pasti sayang dengan anaknya Mey.” Sambil memegang erat tanganku tuk meyakinkanku.
Bagaimana mungkin
aku bisa membujuk ibu dalam waktu satu hari. Kak Sinta sudah pasti tidak bisa
menemaniku dan aku tidak mau merepotkannya. Aku tidak ingin merepotkan Kak
Sinta. Aku bingung apa yang harus aku lakukan. Jika menemui ibu, aku juga tak
tahu dimana ibu bekerja. Selama ini ibu tidak pernah memeberi tahu dimana dia
bekerja.
Malam itu aku
memang tidak menunggu ibu di depan rumah seperti biasanya. Aku tidak ingin
ingkar janji dengan Kak Sinta yang terlalu sayang denganku. Aku tekadkan untuk
masuk ke kamar ibu. Terlihat rapi seperti kamar yang tak pernah berpenghuni.
Aku coba buka almari ibu, barangkali ada sesuatu petunjuk dimana ibu bekerja.
Aku menemukan sebuah amplop merah, warna kesukaan ibu. Di dalamnya terdapat
surat dari ayah sebelum dia meninggal. Aku jadi rindu ayah. Mengingat masa-masa
yang indah bersama ayah terlalu sulit untuk dilupakan. Tetapi sekarang hanyalah
jadi kenangan manis yang tak pernah tergantikan oleh siapapun.
Tak ingin terlalu
lama mengingat ayah, aku membuka amplop selanjutnya. Aku menemukan alamatnya.
Tak ambil waktu lama aku segera bergegas menuju alamat itu. Tempatnya di
tengah-tengah keramaian. Aku heran, di sana sini banyak sekali
perempuan-perempuan berpakaian seksi. Tak tanggung-tanggung jari mereka mengapit
batang rokok yang berasap. Tempat itu terlalu asing bagiku.
“Anak manis,
ngapain kamu di sini?” seorang perempuan seksi menghampiriku.
”Saya mau cari ibu
saya. Namanya Susi Larasati.” Kusodorkan foto ibu yang ku bawa. Dengan muka
gerang tiba-tiba perempuan itumenjatuhkan rokoknya dan diinjak dengan kakinya.
“Jadi kamu anaknya
Susi yang akan dijadikan penerusnya nanti?”
“Penerus?
Maksudnya penerus apa?”
“Lihat sendiri apa
yang dilakukan ibumu selama ini. Dia di lantai atas. Dasar ibu tidak punya
perasaan!”
Perempuan itu
langsung meninggalkanku. Aku bingung dengan apa yang dikatakan perempuan tadi. Aku
langsung beranjak ke lantai atas. Begitu terkejutnya seorang anak melihat
ibunya bersama laki-laki yang bukan ayahnya. Sama halnya seperti laki-laki
hidung belang dan seorang pelacur. Aku tak dapat berbuat apa-apa. Akukaku
berdiri dan tangis pun mulai jatuh deras. Tak kuasa melihat ibun, aku berlari
keluar dan turun ke bawah. Betapa sakit hatiku karena kesetiaanku selama ini
kepada ibu hanya dibalas dengan perlakuan yang bejat. Walaupun dia menegejarku
dan aku pun dulu ingin dipeluknya, sama sekali tidak ingin lagi. Aku
menyesal...
Kisah pahitku
tak terhenti disini saja. Sepulangnya dari tempat bejat itu, aku disambut
dengan banyak orang di rumah. Dalam kegelapan malam, orang-orang di dalam rumah
di selimuti duka penuh tangis. Aku tak tahu apa yang terjadi. Yang aku tahu
hanyalah Kak Sinta yang telah terbujur kaku pucat pasi ditutup dengan kaih
putih suci. Aku pikir tangisku takkan keluar lagi, ternyata kakak yang selama
ini sayang kepadaku membuatku menangis lebih dari apapun. Dia meninggal ketika
kecelakaan pesawat menuju Jakarta.
Kutinggalkan
semua kenangan indah bersama kakak tersayang di atas batu nisan ini. Aku tak
tahu bagaimana nasibku yang kini hanya bisa direnggut sepi sunyi tiada arti
lagi.
By : Layka
0 komentar on "Penantian Kosong"
Posting Komentar