Rabu, 29 Februari 2012

Kado Terindah

Diposting oleh Layka Meyshera di 17.33 0 komentar

Kado Terindah

Aku suka sekali menghabiskan waktuku di kamar. Bukan berati aku hanya tidur sepuasnya. Hal yang paling sering aku lakukan adalah menulis. Menulis apa saja yang aku suka. Bahkan mataku sudah peka di depan laptop karena aku suka menulis novel. Walaupun belum pernah terbit, aku senang karena aku enjoy saat menulis. Dan aku juga punya cita-cita menjadi seorang penulis.
Kebiasaan yang aku gemari itu ternyata tak begitu disuka dalam keluargaku, terutama ayahku. Dia sama sekali tak suka jika aku menulis, apalagi menjadi seorang penulis. Ayah selalu membimbingku untuk fokus pada kuliah. Ayah selalu memaksaku untuk belajar, untuk rajin, untuk tekun, padahal aku tak suka. Memang aku terbilang anak tak pandai. Tetapi bukan berati aku tak punya talent, ayah sama sekali tak mengerti aku.
Suatu ketika aku ada jadwal kuliah, aku pura-pura sakit. Akhirnya ayah mengizinkan aku supaya tidak masuk dan istirahat di kamar. Tentunya aku tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Segera ku buka laptopku dan jari-jariku mulai menari sesuka hati. Aku merasa lebih nyaman berimajinasi daripada belajar. Berimajinasi sesuka hati tanpa ada paksaan sedikitpun. Tetapi ketika aku sedang asyik menulis novel, tiba-tiba saja ayahku masuk ke kamarku tanpa permisi.
“Kesha, apa-apaan kamu? Bukannya kamu harus istirahat? Atau kamu bohong sama ayah kalau sebenarnya kamu tidak sakit, ha?” mata ayah melotot memandangku.
“Tapi, yah! Please!” akupun memohon pengertian dengan rasa takut.
“Berapa kali ayah bilang, kamu tidak boleh menulis, ayah tak suka! Kamu harus fokus dengan kuliah kamu dan kamu akan menjadi penerus di kantor ayah nantinya.”
“Ayah! Aku sudah dewasa, aku berhak menentukan hidupku tanpa dipandu ayah lagi. Aku tak suka dipaksa. Aku ingin bebas!”
“Berani kamu, ya!”
Plak...” tangan ayah telah berhasil mendarat di pipiku kali ini.
“Ayah, hentikan! Berhenti memaksa Kesha lagi. Dia sudah dewasa. Benar apa yang dia bilang, dia berhak menentukan hidupnya!” ibuku selalu membelaku di saat-saat genting seperti ini.
“Aku kecewa sama ayah. Aku benci ayah!” aku pun menangis tak kuat menahan rasa sakit di pipi terlebih di hatiku. Akupun segera mengemasi laptopku dan aku segera keluar rumah. aku tak tahan dengan sikap ayah yang selalu memaksaku. Aku ingin bebas terbang bersama imajinasi yang sudah aku kubur di pundi-pundi memoriku.
“Hai, Kesha. Sedang apa?” tiba-tiba datang seorang laki-laki yang langsung duduk di sebelahku.
“Fino?” aku terkejut melihat Fino yang sudah lama tak jumpa dengannya.”Ehm, apa kabar kamu?”
“Baik. Kamu kenapa ke taman bawa-bawa laptop segala. Ngapain?” tanyanya penasaran.
“Ehm, mau cari inspirasi.” kubalas dengan senyuman.
“Inspirasi? Buat apa?”
“Buat tulisan aku. Ya, buat cerpen aku, novel aku. Semuanya.” jari-jariku masih tetap sibuk di atas keybord laptop.
“Oww, masih suka nulis juga? Ayah kamu?”
“Huuft, itu dia yang jadi masalah. Aku sering kabur darinya cuman gara-gara aku harus selamatin tulisan aku. Pahit ya kalau inget pas dulu ayah pernah buang draft novel aku yang pertama. Dia sama sekali tak menghargaiku.”
“Tapi aku sama sekali belum pernah  membaca tulisan kamu lho Key. Boleh nggak aku pinjam tulisan kamu?”
“Of course, boleh lah. Dibaca nggak? Kamu kan, sibuk kuliah. Secara gitu, kan, kamu anak pinter, rajin lagi.”
“Jangan berlebih. Pasti aku sempetin baca kok Key.” dia membalas dengan senyum kepastian.
Walaupun ayah tak suka jika aku menulis, aku tak kehilangan akal untuk tetap mngembangkan talentku. Aku menulis beberapa cerpenku di blogku. Karena itu lebih aman daripada dalam bentuk draft yang bisa diambil dan dibuang ayah kapan saja.
Ternyata tulisan yang aku tulis di blog menarik beberapa orang. Salah satunya Mas Doni. Kebetulan dia adalah seorang editor. Bahkan dia menawarkanku untuk menjual tulisanku di pasaran. Aku sangat girang saat itu karena aku pikir aku akan bisa menunjukkan pada ayah bahwa tulisanku ini ada manfaatnya.
 “Ayah, Ibu, aku mau tanya sesuatu. Mungkin ini sedikit mengejutkan buat kalian. Tapi hal ini benar-benar penting buat Kesha.”
“Ada apa Key? Tak seperti  biasanya kamu bicara penting dengan kita seperti ini.
“Ehm, setelah aku pikir-pikir, aku memutuskan untuk berhenti kuliah Bu, Yah.”
“Apa kamu bilang? Kamu pikir selama ini ayah menguliahkan kamu untuk apa, ha?”
“Yah, tapi aku nggak suka. I love to do, and to do for love. Kalau aku lanjutkan kuliah aku juga bakalan rugi. Aku nggak pernah suka dan nggak akan suka.”
“Tapi apa kamu yakin, Key?” ibu mencoba menenangkan suasana.
“Aku yakin, Bu. aku akan buktikan kalau aku ini bisa tanpa kuliah. Dan aku akan menjadi seorang penulis handal. Sebentar lagi bukuku pasti terbit.”
“Jangan mimpi kamu. Ingat ya Key, jangan sampai berharap minta tolong ayah jika kamu ternyata gagal. Ingat itu!” ayah langsung meninggalkanku pergi. Hatiku semakin kecil karena aku merasa tak ada dorongan lagi, kecuali ibuku.
Keesokan harinya aku bertemu dengan mas Doni. Orangnya begitu ramah. Dan yang sangat mengejutkan adalah ternyata dia tahu tentang cerpenku dari Fino. Hmm, aku tak menyangka Fino sebaik itu padaku. Dan kitapun mulai bekerja sama. Satu per satu aku berikan novelku pada mas Doni, dibantu dengan Fino juga. Lalu di edit oleh mas Doni hingga semuanya menjadi sangat indah dan rapi. Akhirnya satu per satu cerpen dan novel yang selama ini aku buat bisa terbit juga. Aku bangga sekali karena bukuku sudah dipajang di toko-toko buku dan di beberapa perpustakaan. Bahkan banyak yang laku dijual. Namaku, Kesha Alisabeth juga semakin melambung tinggi sebagai penulis muda yang berjiwa talent. Semua itu berkat mas Doni dan Fino yang setia membantuku.
Sayangnya selama karierku ini berjalan dengan baik, ayah tak pernah ingin tahu. Aku pun tak pernah memberitahunya, bahkan tak pernah pulang. Selama aku berkarya aku tinggal di apartement ayah. Aku pun juga rindu dengan ibu. Ingin sekali rasanya memberi tahunya bahwa sekarang ini aku telah berhasil. Aku bisa mewujudkan mimpiku yang selama ini selalu dikekang. Tapi aku tahu ini belum saatnya untuk bertemu dengan mereka.
Betapa bahagianya aku hari ini. Tepat di hari ulang tahunku yang ke 20. Ingin sekali aku merayakannya di rumah sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Mendapat sentuhan hangat dari ibu dan kado terbaik dari ayah. Tapi aku pikir aku sudah dewasa, aku mandiri. Aku tak mengharapkan itu lagi. Hidupku serasa selalu terpisah dari orang tuaku.
Ketika itu aku ada jadwal jumpa pers. Aku senang sekali karena banyak fans yang hadir saat itu. Mereka juga mengikuti bedah novelku. Aku tak menyangka bahwa banyak orang  yang menyukai novel pertamaku, Bunga di Sudut Pesantren. Dan hal yang paling aku kejutkan adalah ketika aku melihat ayah dan ibuku hadir pula dalam jumpa pers. Aku pun menangis dalam kebahagiaan. Tak kusangka hati ayah telah luluh dan bisa menghargai aku.
“Ayah.” aku memeluk dalam dekapannya. “Aku tak menyangka ayah mau datang.”
“Ayah bangga padamu Key, sekarang ayah percaya padamu karena kamu telah membuktikannya.” senyuman ayah yang lebar membuatku semakin tenang.
“Selamat ulang tahun, sayang.” tiba-tiba ibu datang dengan membawa kue tart. “Ayo tiup lilinnya, make a wish dulu ya, Kesha sayang.”
Akupun meniupkan lilinnya. Setelah berkumpul bersama untuk potong kue, bersama mas Doni dan Fino juga. Betapa bahagianya sekali aku hari ini. Akhirnya aku bisa berkumpul lagi dengan orang tuaku. Dalam situasi yang sangat sempurna, lebih dari tahun-tahun sebelumnya. Dan ini lah kado terindah yang pernah aku dapat.

By : Layka

Rabu, 22 Februari 2012

Bunga di Sudut Pesantren

Diposting oleh Layka Meyshera di 04.05 0 komentar

Bunga di Sudut Pesantren

Malam ini dingin begitu menusuk tulang. Para santriwati masih duduk terpaku di masjid mendengarkan ceramah Kyai. Tetapi seorang gadis yang duduk di tengah masjid itu tak kuat menahan rasa ingin buang air kecil. Dia pun berlari kecil sambil merunduk ke belakang masjid hendak menuju kamar mandi. Tampak lagi gadis di belakangnya menyusulnya juga.
          “Bunga, kamu juga mau buang air kecil? Antri dulu, ya.” sambil menaikkan roknya.
          “Tidak. Sudah, mbak Susan buang air sana nanti keburu ngompol lho. Hik..hik..”
          “Lantas kamu kenapa ada disini? Sebentar lagi, kan, ceramahnya selesai. Balik ke masjid sana!”
          “Maka dari itu mbak. Kalau acaranya selesai, berarti semua santri keluar masjid. Jadi aku bisa melihat kang Yesa.” sambil meringis.
          “Ih dasar Bunga kok...aduh, aku udah nggak kuat.” Susan pun segera masuk ke kamar mandi setelah menahan perutnya. Bunga pun tertawa terbahak-bahak.
          Bunga bersandar di dinding tempat wudhlu sambil memegang sebuah amplop warna merah. Memang agak gelap jika malam. Tetapi itulah yang dicarinya, supaya tidak terlalu terlihat orang banyak. Dia menunggu seorang santri yang bernama Kang Yesa, lelaki idamannya. Putra dari Nyai pesantren.
          Setelah menunggu hampir sepuluh menit, bahkan sampai Susan keluar dari kamar mandi. Baru dia melihat para santri keluar dari masjid. Dengan teliti dia mengamati Kang Yesa supaya tidak salah orang. Tetapi dia tak menemukannya.
          “Imron! Sini!” memanggil dengan suara yang lirih.
          “Bunga? Kenapa kamu di sini? Di tempat gelap seperti ini.” tanyanya penasaran.
          “Husst jangan keras-keras. Kang Yesa dimana?”
          “Oww Kang Yesa...”
          “Jangan keras-keras Im...” sambil membungkam mulut Imron. “Dia dimana?”
          “Dia lagi di ndalem. Katanya, sih, ada urusan sama Nyai. Urusan pentiiing sekali. Sudah dua hari ini dia tidak ikut pengajian, Bunga.”
          Bunga pun diam terpaku di tempat terlihat lesu. Memangsudah dua hari ini hasilnya nihil. Apa yang diharapkannya tak kunjung terkabulkan. Hanya ingin mengirimkan surat untuk santri seperti Kang Yesa yang di idamkannya. Tak kunjung datang waktu yang tepat.
          Di sudut pesantren terdapat gubuk kecil. Tak pernah terpakai. Tetapi setelah Bunga merawat dan menghiasnya, gubuk itu tak lagi nampak usang. Di tempat itu lah Bunga menghabiskan waktunya untuk merenung jika kesepian. Di tempat itu juga lah dia menulis surat hingga bertumpuk-tumpuk. Setiap seminggu sekali dia mengoleksi surat yang paling bagus untuk dikirim pada Kang Yesa. Dia melakukan itu semua selama tiga tahun. Sayangnya, tak ada surat yang sampai di tangan Kang Yesa. Malang sekali.
          Di tengah lamunannya memikirkan tentang Kang Yesa. Tiba-tiba saja dia dikejutkan dengan suara para santri putri yang ricuh. Dia pun penasaran dengan apa yang terjadi disana. Dia berlari dengan cepat dan menyusuri kali kecil. Tiba-tiba dia terpeleset karena licinnya kali itu. Menjadi kotor dan basah bajunya.
          “Mbak Susan, ada apa, sih?”
          “Bunga, baju kamu kotor sekali. Pasti kamu jatuh lagi?” tanya Susan.
          “Sudah biasa mbak.” sambil terengah-engah mengatur napas. “Ada apa, kok, ramai sekali. Semuanya pada ngintip ndalem. Ada apa?” tanyanya penasaran.
          “Kamu belum tahu, ya. Calon menantu Nyai hari ini datang.”
          “Calon menantu?” dengan mata melotot Bunga terlihat begitu kaget hingga keluar keringat dingin dan jantungnya berdetak cepat. Karena yang dia tahu putra dari Nyai hanyalah satu, pemilik pewaris pesantren, M. Herdan Ayesa. “Maksud mbak Susan, calon istri Kang Yesa?”
          “Iya lah Bunga, siapa lagi? Kenapa, kamu pasti cemburu, ya? Hayo ngaku?” sambil bercanda tanpa tahu bagaimana perasaan Bunga yang sebenarnya.
          Bunga pun berlari dengan cepat menuju gubuk kecilnya lagi. Dia tak kuasa menahan rasa pahit yang ia derita. Tak menghiraukan air matanya jatuh sekalipun di kali kecil dimana dia terjatuh lagi. Tak hiraukan bajunya kotor tak lagi suci. Tak hiraukan suara adzan dhuhur yang memanggilnya untuk berjamaah dengan santri lainnya. Hatinya begitu pahit saat itu. Terbakar api cemburu, lebih dari itu. “Astagfirullahaladzim”, hanya itu yang diucapkannya. Lalu dia merebahkan tubuhnya di alas gubuk itu. Sambil menggenggam erat surat merah di pelukannya.
          Sudah dua hari ini Bunga ada di rumah sakit. Yang dilihat ketika pertama membuka matanya hanyalah Imron dan Susan. Matanya masih buram tak dapat melihat dengan jelas, baru sadar dari koma.
          “Mbak Susan, Imron, aku dimana?” sambil memegang kepala masih terasa pusing.
          “Kamu di rumahsakit Bunga. Kemarin mbak Susan menemukan kamu di gubuk kecil dalam keadaan pingsan. Sudah dua hari ini kamu tidak sadar.”
          Bunga hanya terlihat bingung, tak mampu berpikir.
          “Sudahlah Bunga, kamu harus istirahat. Jangan pikir yang lain.” bujuk Imron.
          “Oh iya Im, aku mau titip surat untuk...”
          “Kang Yesa?” tebak Imron.
          “Iya..” sambil tersenyum. “Ini koleksi yang paling bagus lho Im. Aku titip sekarang ya, aku takut telat.” dia mengulurkan surat merah pada Imron. Imron merasa tak enak hati mendengar kata-kata terakhir Bunga. Imron terlihat bingung sambil melirik Susan. “Kenapa Im?” tanya Bunga.
          “Tapi aku nggak bisa dalam situasi seperti ini Bunga. Maaf.”
          “Kenapa? Apa kang Yesa sudah menikah dengan calon yang pernah dibawanya ke ndalem kemarin?” matanya mulai berkaca-kaca dengan mimik yang terlihat bergetar.
          Susan dan Imron tak dapat berkata apa-apa. Mereka tak tega mengatakan semuanya pada sahabat kecilnya. Susan yang merasa dewasa, mencoba menjelaskan dengan perlahan tanpa membuat Bunga menangis untuk kesekian kalinya.
          “Kang Yesa kemarin kecelakaan dengan calon istrinya. Sayangnya, calon istri harus dipanggil Allah.” Susan mencoba untuk menahan air matanya agar tak jatuh. “Dan kini Kang Yesa keadaannya sangat kritis. Dia banyak kehabisan darah. Kemungkinan....”
          Bunga sangat terkejut mendengar semua itu. Dia segera melepas selimut yang menutup tubuhnya. Dia turun dari kasur, mngambil invus yang ada di gantungan. Dia berlari keluar kamar. Tak menghiraukan teriakan Susan dan Imron yang mencoba mencegahnya. Tapi Bunga keras kepala. Dia berhenti di depan kaca ruang Kang Yesa dirawat. Tak kuasa melihat santri idamannya merasakan sakit begitu berat, lebih dari dirinya.
          Ketika dokter keluar dari ruangan itu, Bunga menarik tangan dokter itu ke lorong kecil. Bunga memohon supaya dia diambil darahnya untuk menolong Kang Yesa. Tetapi dokter menolak. Apapun yang dilakukannya hingga mohon ampun kepada dokter supaya diizinkannya. Sampai-sampai dia mengambil gunting yang ada disampingnya untuk menyobek tangannya supaya keluar darah. Dokter tak tega melihat permohonan Bunga yang terlihat sangat tulus nampak dari air matanya. Akhirnya dokter mengizinkannya.
          Kini keluarga ndalem dan seluruh santri putra maupun putri digeluti kebahagiaan dan kedukaan. Bahagia karena Kang Yesa telah kembali ke ndalem dalam keadaan sehat. Berduka karena Bunga harus kembali ke pangkuan Sang Pencipta. Betapa sedih dan terpukulnya sahabat seperti Susan dan Imron yang harus menyampaikan pesan terakhirnya. Dan betapa menyesalnya Kang Yesa yang telah menyia-nyiakan santriwati yang juga dicintainya harus pergi meninggalkannya. Kini hanya ada setumpuk surat yang sudah tiga tahun usianya untuk mewakili perasaan Bunga yang sebenarnya selama ini dia simpan di relung hatinya paling dalam.


By : Layka..

Hafalan Shalat Delisa

Diposting oleh Layka Meyshera di 04.02 0 komentar

Hafalan Shalat Delisa

            Delisa adalah gadis kecil yang tinggal di sebuah keluarga kecil.  Dia anak sulung dari empat bersaudara. Dia tinggal bersama saudara dan umminya di Aceh. Sedangkan abinya bekerja di luar negri. Jarang sekali pulang.
                Suatu ketika dia dijanjikan oleh umminya apabila dia mampu menghafal shalat dengan baik, maka umminya akan memberikan hadiah kalung. Delisa pun semangat untuk hafalan, teapi masih juga hafalannya terbalik-balik. Tetapi kakak kembar Delisa, Zahra, tak begitu suka melihat Delisa disayang oleh umminya apalagi sampai dibelikan kalung. Zahra selalu iri dengan apa yang didapat oleh Delisa. Merekapun juga sering bertengkar. Tetapi kakak bungsunya, Fatimah, selalu melerai kedua adiknya itu ketika bertengkar.
                “Yang liontinnya berinisial “D” ada tidak?”
                “Oh, ada, tunggu sebentar, Cik carikan dulu, ya Delisa.” setelah Delisa menunggu akhirnya ada juga yang berinisial “D”.
                “Wow, ini bagus sekali, Ummi.” dengan wajah yang sangat ceria dan bahagia.
                “Tapi, kalung ini ummi berikan pada Delisa kalau Delisa sudah lulus ujian shalatnya, ya.” Wajah Delisa pun menjadi sedikit muram. Sebenarnya Delisa ingin sekali segera memakai kalung itu.
                Suatu hari abi Delisa menelfon rumah. Delisa dan saudaranya pun berkumpul untuk mendengar suara abinya. Dan ketika itu abinya berjanji kepada Delisa akan memberikan sebuah sepeda apabila dia sudah lulus ujian hafalan shalat. Dia pun semakin girang dan bersemangat untuk menghafal shalat. Tetapi disisi lain ternyata Zahra menangis menyayat hati. Dia iri dengan Delisa. Tetapi umminya selalu memberikan pengertian kepada Zahra supaya tidak iri dengki terhadap sesama saudaranya, adiknya sendiri.
                Hari ini Delisa sudah menyiapakan segalanya untuk menempuh ujian. Umminya juga sudah siap untuk menemaninya dan selalu memberikan dukungan, begitu juga dengan ketiga saudaranya, termasuk Zahra yang sudah mulai sayang kepada Delisa. Ketika umminya dan Delisa hendak mengambil kalung yang disimpan di almari, tiba-tiba saja mereka merasakan gempa yang kuat di dalam rumah. Bersama Delisa, umminya segera keluar dari rumah. Keluarga kecil itupun berkumpul di depan rumah. Ketika gempa sudah redaDelisa dan umminya tetap pergi ke sekolah. Sedangkan Fatimah dirumah bersama adiknya Zahra dan Aisyah.
                Dengan niat bismillahirrohmanirrohim, Delisa pun mulai praktek shalat. Diuji oleh ustazdnya, ustadz Fathir, dan seorang gurunya. Diluar sana umminya memberikan dukungan penuh pada Delisa. Sambil memperlihatkan kalungnya pada Delisa, Delisa pun tersenyum. Sayang sekali, belum sampai setengah dia praktek shalat. Tiba-tiba gempa itu datang lagi. Yang sekarang terasa lebih kuat. Semua orang pun bingung kalang kabut, termasuk ummi Delisa. Tetapi Delisa tetap melanjutkan praktek shalatnya karena dia ingat dengan kata ustadznya,“Jika kamu shalat, ada kejadian apapun diluar sana, kamu harus tetap konsentrasi pada shalat”. Sampai-sampai Delisa pun tak menghiraukan teriakan umminya. Hinnga akhirnya dia terhempas oleh tsunami. Termakan oleh air bersama juga dengan Tiur, salah satu sahabatnya.
                Delisa terdampar di tempat yang asing baginya. Sudah dua hari ini dia tergeletak di atas batu besar dengan keadaan yang sangat mengenaskan. Dia terkejut ketika melihat Tiur terbujur kaku tak berdaya disampingnya. Untungnya dia menemukan apel pada saat itu. Tapi sayang sekali tak ada orang yang menemukannya. Sedangkan abinya bingung mencari keluarganya setelah mendengar berita Tsunami.
            Sampai empat hari Delisa baru ditemukan oleh tim SAR dari Amerika, Smith. Akhirnya dia langsung membawa Delisa ke rumahsakit. Delisa dirawat oleh Shofie. Sayang sekali ternyata luka kaki Delisa terlalu parah hingga harus diamputasi. Delisa pikir kakinya hilang terbawa air. Hingga kini dia harus menggunakan kursi roda untuk mengantar dia kemana-mana. Smith dan Shofie begitu sayang pada Delisa. Bahkan Smith ingin mengambil Delisa menjadi anaknya dan membawanya ke Amerika. Tetapi sayangnya ketika itu abi Delisa sudah menemukannya. Delisa dan abinya sangat bahagia, tetapi Smith sempat sedih karena kesempatannya untuk memiliki Delisa sudah hilang.
                Aceh kini sudah tak seindah dulu lagi. Bahkan rumah Delisa sudah hanyut terbawa air tinggal puing-puingnya saja. Kak Fatimah, Kak Aisyah, dan Kak Zahra juga sudah meninggalkan Delisa. Umminya tak tahu hilang kemana. Kini Delisa tinggal hanya bersama abinya. Walaupun Delisa kehilangan saudaranya, bahkan kakinya. Dia sama sekali tak sedih. Ustadz Fathir selalu mengingatkan Delisa untuk ikhlas. Lagipula masih ada kak Smith, Kak Shofie, ustadz Fathir, dan abinya yang sangat sayang padanya. Delisa pun teringat pesan uminya bahwa dia harus mnyelesaikan hafalan shalatnya.
                Kali ini Delisa serius dengan hafalannya. Sekarang tidak lagi dia melakukannya hanya untuk mendapatkan hadiah kalung dari umminya. Tetapi dia benar-benar ingin shalat secara baik dan benar. Bahkan suatu hari dia bermimpi bertemu dengan umminya dan umminya memberikan kalung padanya. Tetapi Delisa menolaknya. “Aku tidak ingin kalung itu lagi, ummi. Yang aku ingin hanya shalat dengan baik supaya bisa mendoakan ummi di surga.”
                Hari ini Delisa praktek shalat untuk yang kedua kalinya. Kali ini bukan umminya lagi yang menemani dan mendukungnya, melainkan abinya. Dengan lancar dan baik dia mengahfal praktek shalatnya. Dan akhirnya ustadz Fathir menyatakan bahwa Delisa lulus ujian. Delisa dan abinya sangat bahagia. Akhirnya kini dia lulus dan akan bisa mendoakan untuk keluarga yang mereka sayang yang telah meninggalkannya.

(dikutip dari film Hafalan Shalat Delisa, 2011)

Tulisanku Adalah Hidupku

Diposting oleh Layka Meyshera di 03.59 1 komentar


Tulisanku Adalah Hidupku

Menulis bebas itu rasanya seperti melayang di udara bebas tanpa ada yang mengekang.
Bebas berekspresi dan berimajinasi.
Berimajinasi yang tak ada batasnya adalah hal yang sangat menyenangkan bagiku.
Karena imajinasi adalah penggambaran tentang apa yang ingin kita capai.
Walaupun imajinasi adalah hanya khayalan semata.
Siapa tahu imajinasi kita jadi kenyataan, bukan?
Karena apa yang pernah aku tulis adalah sebagai tanda garis hidup yang telah aku tentukan.
Ketika aku menulis, banyak sekali tantangan dan rintangan yang aku hadapi.
Kehabisan ide, kehabisan kata-kata, cerita tak tahu arah ntah kemana.
Semua itu sebagai tanda wujud hidupku yang banyak duka dan suka sama seperti perjalanan menulis.
Keikaaku merasa telah sampai di titik langit yang paling atas.
Aku merasakan begitu dalamnya perjalanan besar yang telah aku lewati.
Dan setelah aku tahu bagaimana rasanya perjuangan menulis.
Aku akan memetik satu saja hal yang bukan hanya aku rasakan, tapi juga aku miliki sepenuhnya.
So, jangan takut untuk berimajinasi dan menciptakan hal-hal baru yang belum ada kawan.

By: Layka

Selasa, 21 Februari 2012

Penantian Kosong

Diposting oleh Layka Meyshera di 21.19 0 komentar

Penantian Kosong

Musim hujan belum juga berhenti berganti musim panas yang aku tunggu. Sama seperti aku yang selalu menunggu kehadiran seorang ibu di pelukan hangatku. Aku tidak pernah tau mengapa aku berbeda dengan remaja lainnya yang berhak mendapat kasih sayang seorang ibu. Ataukah aku bukan anak yang beruntung?
“Mey, ayo masuk ke rumah, di luar dingin sekali.”
“Akankah aku tidak pernah melihat ibu setiap malam, kak?”
“Kamu, kan, sudah dewasa. Pasti kamu tahu ibu kemana.”
“Maksud kakak?”
“Sudah 10 tahun kita ditinggal ayah. Kamu tahu, kan, bagaimana kondisi kita semua sejak itu. Ibu banting tulang demi kita, kamu dan kakak. Ibu berjuang demi kita. Kakak harap kamu tidak kecewakan ibu.” kak Sinta meninggalkanku dengan isak tangis.Aku pun tetap menunggu sampai ibu pulang. Tak ku hiraukan walapun dingin menusuk tulang. Selimut dari kak Sinta pun tak menghangatkan tubuhku sebelum aku mendapat pelukan ibu.
            Hari ini kak Sinta bangun pagi sekali, tak seperti biasanya. Dia bekerja setiap pagi sampai sore. Demi membantu ibu dia rela tak melanjutkan kuliah. Sedangkan aku, masih duduk di bangku SMA.
            “Mey, kakak hari ini tidak bisa pulang temani kamu. Kakak ada pekerjaan di Jakarta untuk menggantikan bos kakak.”
            “Kapan kakak pulang?” tanyaku sambil mengambil roti sisir.
            “Kak Sinta juga nggak tau, Mey. Tapi kakak janji kalau sudah selesai pasti kakak akan pulang.” Sambil menatap mataku tajam.
            “Kakak janji?” ku ulurkan jari kelingkingku.
            “Janji!” dia juga mengulurkan jari kelingkingnya. “Eits, tapi Meysa juga harus janji sama kakak.”
            “Apa?”
            “Mesya janji nggak akan menunggu ibu sampai larut malam. Sekali ini saja Mey, jangan buat kakak khawatir dan tidak nyaman bekerja. Kamu tahu kan ini semua untuk siapa?”
Aku sedikit ragu menjawab janji kakak. Aku pun juga tak tahu kapan ibu akan pulang. Aku bimbang dan hanya termenung menatap mata kakak yang berkaca-kaca.
            “Mey?” tangan kakak membelai rambutku dengan kasih sayang.
            “Ehm, iya kak, aku janji.” Kak Sinta memelukku dan meneteskan air mata. Entah mengapa hatiku terasa miris ketika kakak memelukku. Hatiku tak rela jika aku terlepas dengan kakak, walaupun hanya sehari saja. Kakak lah yang selama ini memberikan kasih sayang pengganti ibu yang tak pernah ada di sisiku.
            “Pagi Mey.” Mery menyambutku dengan wajah yang sumringah.
            “Pagi juga Mer. Gembira banget, sih, kamu. Ada apa?”
            “Yahh, pasti belum tau ya? Besok malam, kan, ada acara ESQ di sekolah. Dan ortu juga ikut serta lho Mey. Itu kan kesempatan buat kita gabung sama ortu.”
            “Yeah, mungkin buat kamu ini kesempatan bagus. Tapi... mungkin belum untuk aku Mer.” Ku coba bertahan tegar agar tidak menangis, tetapi tidak bisa.
            “Mey, dont be sad! Aku... aku tahu keadaan kamu. Tapi aku yakin kamu bisa buktikan ke temen-temen kalau kamu punya ibu yang sayang sama kamu. Bagaimana pun yang namanya ibu pasti sayang dengan anaknya Mey.” Sambil memegang erat tanganku tuk meyakinkanku.
            Bagaimana mungkin aku bisa membujuk ibu dalam waktu satu hari. Kak Sinta sudah pasti tidak bisa menemaniku dan aku tidak mau merepotkannya. Aku tidak ingin merepotkan Kak Sinta. Aku bingung apa yang harus aku lakukan. Jika menemui ibu, aku juga tak tahu dimana ibu bekerja. Selama ini ibu tidak pernah memeberi tahu dimana dia bekerja.
            Malam itu aku memang tidak menunggu ibu di depan rumah seperti biasanya. Aku tidak ingin ingkar janji dengan Kak Sinta yang terlalu sayang denganku. Aku tekadkan untuk masuk ke kamar ibu. Terlihat rapi seperti kamar yang tak pernah berpenghuni. Aku coba buka almari ibu, barangkali ada sesuatu petunjuk dimana ibu bekerja. Aku menemukan sebuah amplop merah, warna kesukaan ibu. Di dalamnya terdapat surat dari ayah sebelum dia meninggal. Aku jadi rindu ayah. Mengingat masa-masa yang indah bersama ayah terlalu sulit untuk dilupakan. Tetapi sekarang hanyalah jadi kenangan manis yang tak pernah tergantikan oleh siapapun.
            Tak ingin terlalu lama mengingat ayah, aku membuka amplop selanjutnya. Aku menemukan alamatnya. Tak ambil waktu lama aku segera bergegas menuju alamat itu. Tempatnya di tengah-tengah keramaian. Aku heran, di sana sini banyak sekali perempuan-perempuan berpakaian seksi. Tak tanggung-tanggung jari mereka mengapit batang rokok yang berasap. Tempat itu terlalu asing bagiku.
            “Anak manis, ngapain kamu di sini?” seorang perempuan seksi menghampiriku.
            ”Saya mau cari ibu saya. Namanya Susi Larasati.” Kusodorkan foto ibu yang ku bawa. Dengan muka gerang tiba-tiba perempuan itumenjatuhkan rokoknya dan diinjak dengan kakinya.
            “Jadi kamu anaknya Susi yang akan dijadikan penerusnya nanti?”
            “Penerus? Maksudnya penerus apa?”
            “Lihat sendiri apa yang dilakukan ibumu selama ini. Dia di lantai atas. Dasar ibu tidak punya perasaan!”
Perempuan itu langsung meninggalkanku. Aku bingung dengan apa yang dikatakan perempuan tadi. Aku langsung beranjak ke lantai atas. Begitu terkejutnya seorang anak melihat ibunya bersama laki-laki yang bukan ayahnya. Sama halnya seperti laki-laki hidung belang dan seorang pelacur. Aku tak dapat berbuat apa-apa. Akukaku berdiri dan tangis pun mulai jatuh deras. Tak kuasa melihat ibun, aku berlari keluar dan turun ke bawah. Betapa sakit hatiku karena kesetiaanku selama ini kepada ibu hanya dibalas dengan perlakuan yang bejat. Walaupun dia menegejarku dan aku pun dulu ingin dipeluknya, sama sekali tidak ingin lagi. Aku menyesal...
Kisah pahitku tak terhenti disini saja. Sepulangnya dari tempat bejat itu, aku disambut dengan banyak orang di rumah. Dalam kegelapan malam, orang-orang di dalam rumah di selimuti duka penuh tangis. Aku tak tahu apa yang terjadi. Yang aku tahu hanyalah Kak Sinta yang telah terbujur kaku pucat pasi ditutup dengan kaih putih suci. Aku pikir tangisku takkan keluar lagi, ternyata kakak yang selama ini sayang kepadaku membuatku menangis lebih dari apapun. Dia meninggal ketika kecelakaan pesawat menuju Jakarta.
Kutinggalkan semua kenangan indah bersama kakak tersayang di atas batu nisan ini. Aku tak tahu bagaimana nasibku yang kini hanya bisa direnggut sepi sunyi tiada arti lagi.

By : Layka

Rabu, 29 Februari 2012

Kado Terindah

Diposting oleh Layka Meyshera di 17.33 0 komentar

Kado Terindah

Aku suka sekali menghabiskan waktuku di kamar. Bukan berati aku hanya tidur sepuasnya. Hal yang paling sering aku lakukan adalah menulis. Menulis apa saja yang aku suka. Bahkan mataku sudah peka di depan laptop karena aku suka menulis novel. Walaupun belum pernah terbit, aku senang karena aku enjoy saat menulis. Dan aku juga punya cita-cita menjadi seorang penulis.
Kebiasaan yang aku gemari itu ternyata tak begitu disuka dalam keluargaku, terutama ayahku. Dia sama sekali tak suka jika aku menulis, apalagi menjadi seorang penulis. Ayah selalu membimbingku untuk fokus pada kuliah. Ayah selalu memaksaku untuk belajar, untuk rajin, untuk tekun, padahal aku tak suka. Memang aku terbilang anak tak pandai. Tetapi bukan berati aku tak punya talent, ayah sama sekali tak mengerti aku.
Suatu ketika aku ada jadwal kuliah, aku pura-pura sakit. Akhirnya ayah mengizinkan aku supaya tidak masuk dan istirahat di kamar. Tentunya aku tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Segera ku buka laptopku dan jari-jariku mulai menari sesuka hati. Aku merasa lebih nyaman berimajinasi daripada belajar. Berimajinasi sesuka hati tanpa ada paksaan sedikitpun. Tetapi ketika aku sedang asyik menulis novel, tiba-tiba saja ayahku masuk ke kamarku tanpa permisi.
“Kesha, apa-apaan kamu? Bukannya kamu harus istirahat? Atau kamu bohong sama ayah kalau sebenarnya kamu tidak sakit, ha?” mata ayah melotot memandangku.
“Tapi, yah! Please!” akupun memohon pengertian dengan rasa takut.
“Berapa kali ayah bilang, kamu tidak boleh menulis, ayah tak suka! Kamu harus fokus dengan kuliah kamu dan kamu akan menjadi penerus di kantor ayah nantinya.”
“Ayah! Aku sudah dewasa, aku berhak menentukan hidupku tanpa dipandu ayah lagi. Aku tak suka dipaksa. Aku ingin bebas!”
“Berani kamu, ya!”
Plak...” tangan ayah telah berhasil mendarat di pipiku kali ini.
“Ayah, hentikan! Berhenti memaksa Kesha lagi. Dia sudah dewasa. Benar apa yang dia bilang, dia berhak menentukan hidupnya!” ibuku selalu membelaku di saat-saat genting seperti ini.
“Aku kecewa sama ayah. Aku benci ayah!” aku pun menangis tak kuat menahan rasa sakit di pipi terlebih di hatiku. Akupun segera mengemasi laptopku dan aku segera keluar rumah. aku tak tahan dengan sikap ayah yang selalu memaksaku. Aku ingin bebas terbang bersama imajinasi yang sudah aku kubur di pundi-pundi memoriku.
“Hai, Kesha. Sedang apa?” tiba-tiba datang seorang laki-laki yang langsung duduk di sebelahku.
“Fino?” aku terkejut melihat Fino yang sudah lama tak jumpa dengannya.”Ehm, apa kabar kamu?”
“Baik. Kamu kenapa ke taman bawa-bawa laptop segala. Ngapain?” tanyanya penasaran.
“Ehm, mau cari inspirasi.” kubalas dengan senyuman.
“Inspirasi? Buat apa?”
“Buat tulisan aku. Ya, buat cerpen aku, novel aku. Semuanya.” jari-jariku masih tetap sibuk di atas keybord laptop.
“Oww, masih suka nulis juga? Ayah kamu?”
“Huuft, itu dia yang jadi masalah. Aku sering kabur darinya cuman gara-gara aku harus selamatin tulisan aku. Pahit ya kalau inget pas dulu ayah pernah buang draft novel aku yang pertama. Dia sama sekali tak menghargaiku.”
“Tapi aku sama sekali belum pernah  membaca tulisan kamu lho Key. Boleh nggak aku pinjam tulisan kamu?”
“Of course, boleh lah. Dibaca nggak? Kamu kan, sibuk kuliah. Secara gitu, kan, kamu anak pinter, rajin lagi.”
“Jangan berlebih. Pasti aku sempetin baca kok Key.” dia membalas dengan senyum kepastian.
Walaupun ayah tak suka jika aku menulis, aku tak kehilangan akal untuk tetap mngembangkan talentku. Aku menulis beberapa cerpenku di blogku. Karena itu lebih aman daripada dalam bentuk draft yang bisa diambil dan dibuang ayah kapan saja.
Ternyata tulisan yang aku tulis di blog menarik beberapa orang. Salah satunya Mas Doni. Kebetulan dia adalah seorang editor. Bahkan dia menawarkanku untuk menjual tulisanku di pasaran. Aku sangat girang saat itu karena aku pikir aku akan bisa menunjukkan pada ayah bahwa tulisanku ini ada manfaatnya.
 “Ayah, Ibu, aku mau tanya sesuatu. Mungkin ini sedikit mengejutkan buat kalian. Tapi hal ini benar-benar penting buat Kesha.”
“Ada apa Key? Tak seperti  biasanya kamu bicara penting dengan kita seperti ini.
“Ehm, setelah aku pikir-pikir, aku memutuskan untuk berhenti kuliah Bu, Yah.”
“Apa kamu bilang? Kamu pikir selama ini ayah menguliahkan kamu untuk apa, ha?”
“Yah, tapi aku nggak suka. I love to do, and to do for love. Kalau aku lanjutkan kuliah aku juga bakalan rugi. Aku nggak pernah suka dan nggak akan suka.”
“Tapi apa kamu yakin, Key?” ibu mencoba menenangkan suasana.
“Aku yakin, Bu. aku akan buktikan kalau aku ini bisa tanpa kuliah. Dan aku akan menjadi seorang penulis handal. Sebentar lagi bukuku pasti terbit.”
“Jangan mimpi kamu. Ingat ya Key, jangan sampai berharap minta tolong ayah jika kamu ternyata gagal. Ingat itu!” ayah langsung meninggalkanku pergi. Hatiku semakin kecil karena aku merasa tak ada dorongan lagi, kecuali ibuku.
Keesokan harinya aku bertemu dengan mas Doni. Orangnya begitu ramah. Dan yang sangat mengejutkan adalah ternyata dia tahu tentang cerpenku dari Fino. Hmm, aku tak menyangka Fino sebaik itu padaku. Dan kitapun mulai bekerja sama. Satu per satu aku berikan novelku pada mas Doni, dibantu dengan Fino juga. Lalu di edit oleh mas Doni hingga semuanya menjadi sangat indah dan rapi. Akhirnya satu per satu cerpen dan novel yang selama ini aku buat bisa terbit juga. Aku bangga sekali karena bukuku sudah dipajang di toko-toko buku dan di beberapa perpustakaan. Bahkan banyak yang laku dijual. Namaku, Kesha Alisabeth juga semakin melambung tinggi sebagai penulis muda yang berjiwa talent. Semua itu berkat mas Doni dan Fino yang setia membantuku.
Sayangnya selama karierku ini berjalan dengan baik, ayah tak pernah ingin tahu. Aku pun tak pernah memberitahunya, bahkan tak pernah pulang. Selama aku berkarya aku tinggal di apartement ayah. Aku pun juga rindu dengan ibu. Ingin sekali rasanya memberi tahunya bahwa sekarang ini aku telah berhasil. Aku bisa mewujudkan mimpiku yang selama ini selalu dikekang. Tapi aku tahu ini belum saatnya untuk bertemu dengan mereka.
Betapa bahagianya aku hari ini. Tepat di hari ulang tahunku yang ke 20. Ingin sekali aku merayakannya di rumah sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Mendapat sentuhan hangat dari ibu dan kado terbaik dari ayah. Tapi aku pikir aku sudah dewasa, aku mandiri. Aku tak mengharapkan itu lagi. Hidupku serasa selalu terpisah dari orang tuaku.
Ketika itu aku ada jadwal jumpa pers. Aku senang sekali karena banyak fans yang hadir saat itu. Mereka juga mengikuti bedah novelku. Aku tak menyangka bahwa banyak orang  yang menyukai novel pertamaku, Bunga di Sudut Pesantren. Dan hal yang paling aku kejutkan adalah ketika aku melihat ayah dan ibuku hadir pula dalam jumpa pers. Aku pun menangis dalam kebahagiaan. Tak kusangka hati ayah telah luluh dan bisa menghargai aku.
“Ayah.” aku memeluk dalam dekapannya. “Aku tak menyangka ayah mau datang.”
“Ayah bangga padamu Key, sekarang ayah percaya padamu karena kamu telah membuktikannya.” senyuman ayah yang lebar membuatku semakin tenang.
“Selamat ulang tahun, sayang.” tiba-tiba ibu datang dengan membawa kue tart. “Ayo tiup lilinnya, make a wish dulu ya, Kesha sayang.”
Akupun meniupkan lilinnya. Setelah berkumpul bersama untuk potong kue, bersama mas Doni dan Fino juga. Betapa bahagianya sekali aku hari ini. Akhirnya aku bisa berkumpul lagi dengan orang tuaku. Dalam situasi yang sangat sempurna, lebih dari tahun-tahun sebelumnya. Dan ini lah kado terindah yang pernah aku dapat.

By : Layka

Rabu, 22 Februari 2012

Bunga di Sudut Pesantren

Diposting oleh Layka Meyshera di 04.05 0 komentar

Bunga di Sudut Pesantren

Malam ini dingin begitu menusuk tulang. Para santriwati masih duduk terpaku di masjid mendengarkan ceramah Kyai. Tetapi seorang gadis yang duduk di tengah masjid itu tak kuat menahan rasa ingin buang air kecil. Dia pun berlari kecil sambil merunduk ke belakang masjid hendak menuju kamar mandi. Tampak lagi gadis di belakangnya menyusulnya juga.
          “Bunga, kamu juga mau buang air kecil? Antri dulu, ya.” sambil menaikkan roknya.
          “Tidak. Sudah, mbak Susan buang air sana nanti keburu ngompol lho. Hik..hik..”
          “Lantas kamu kenapa ada disini? Sebentar lagi, kan, ceramahnya selesai. Balik ke masjid sana!”
          “Maka dari itu mbak. Kalau acaranya selesai, berarti semua santri keluar masjid. Jadi aku bisa melihat kang Yesa.” sambil meringis.
          “Ih dasar Bunga kok...aduh, aku udah nggak kuat.” Susan pun segera masuk ke kamar mandi setelah menahan perutnya. Bunga pun tertawa terbahak-bahak.
          Bunga bersandar di dinding tempat wudhlu sambil memegang sebuah amplop warna merah. Memang agak gelap jika malam. Tetapi itulah yang dicarinya, supaya tidak terlalu terlihat orang banyak. Dia menunggu seorang santri yang bernama Kang Yesa, lelaki idamannya. Putra dari Nyai pesantren.
          Setelah menunggu hampir sepuluh menit, bahkan sampai Susan keluar dari kamar mandi. Baru dia melihat para santri keluar dari masjid. Dengan teliti dia mengamati Kang Yesa supaya tidak salah orang. Tetapi dia tak menemukannya.
          “Imron! Sini!” memanggil dengan suara yang lirih.
          “Bunga? Kenapa kamu di sini? Di tempat gelap seperti ini.” tanyanya penasaran.
          “Husst jangan keras-keras. Kang Yesa dimana?”
          “Oww Kang Yesa...”
          “Jangan keras-keras Im...” sambil membungkam mulut Imron. “Dia dimana?”
          “Dia lagi di ndalem. Katanya, sih, ada urusan sama Nyai. Urusan pentiiing sekali. Sudah dua hari ini dia tidak ikut pengajian, Bunga.”
          Bunga pun diam terpaku di tempat terlihat lesu. Memangsudah dua hari ini hasilnya nihil. Apa yang diharapkannya tak kunjung terkabulkan. Hanya ingin mengirimkan surat untuk santri seperti Kang Yesa yang di idamkannya. Tak kunjung datang waktu yang tepat.
          Di sudut pesantren terdapat gubuk kecil. Tak pernah terpakai. Tetapi setelah Bunga merawat dan menghiasnya, gubuk itu tak lagi nampak usang. Di tempat itu lah Bunga menghabiskan waktunya untuk merenung jika kesepian. Di tempat itu juga lah dia menulis surat hingga bertumpuk-tumpuk. Setiap seminggu sekali dia mengoleksi surat yang paling bagus untuk dikirim pada Kang Yesa. Dia melakukan itu semua selama tiga tahun. Sayangnya, tak ada surat yang sampai di tangan Kang Yesa. Malang sekali.
          Di tengah lamunannya memikirkan tentang Kang Yesa. Tiba-tiba saja dia dikejutkan dengan suara para santri putri yang ricuh. Dia pun penasaran dengan apa yang terjadi disana. Dia berlari dengan cepat dan menyusuri kali kecil. Tiba-tiba dia terpeleset karena licinnya kali itu. Menjadi kotor dan basah bajunya.
          “Mbak Susan, ada apa, sih?”
          “Bunga, baju kamu kotor sekali. Pasti kamu jatuh lagi?” tanya Susan.
          “Sudah biasa mbak.” sambil terengah-engah mengatur napas. “Ada apa, kok, ramai sekali. Semuanya pada ngintip ndalem. Ada apa?” tanyanya penasaran.
          “Kamu belum tahu, ya. Calon menantu Nyai hari ini datang.”
          “Calon menantu?” dengan mata melotot Bunga terlihat begitu kaget hingga keluar keringat dingin dan jantungnya berdetak cepat. Karena yang dia tahu putra dari Nyai hanyalah satu, pemilik pewaris pesantren, M. Herdan Ayesa. “Maksud mbak Susan, calon istri Kang Yesa?”
          “Iya lah Bunga, siapa lagi? Kenapa, kamu pasti cemburu, ya? Hayo ngaku?” sambil bercanda tanpa tahu bagaimana perasaan Bunga yang sebenarnya.
          Bunga pun berlari dengan cepat menuju gubuk kecilnya lagi. Dia tak kuasa menahan rasa pahit yang ia derita. Tak menghiraukan air matanya jatuh sekalipun di kali kecil dimana dia terjatuh lagi. Tak hiraukan bajunya kotor tak lagi suci. Tak hiraukan suara adzan dhuhur yang memanggilnya untuk berjamaah dengan santri lainnya. Hatinya begitu pahit saat itu. Terbakar api cemburu, lebih dari itu. “Astagfirullahaladzim”, hanya itu yang diucapkannya. Lalu dia merebahkan tubuhnya di alas gubuk itu. Sambil menggenggam erat surat merah di pelukannya.
          Sudah dua hari ini Bunga ada di rumah sakit. Yang dilihat ketika pertama membuka matanya hanyalah Imron dan Susan. Matanya masih buram tak dapat melihat dengan jelas, baru sadar dari koma.
          “Mbak Susan, Imron, aku dimana?” sambil memegang kepala masih terasa pusing.
          “Kamu di rumahsakit Bunga. Kemarin mbak Susan menemukan kamu di gubuk kecil dalam keadaan pingsan. Sudah dua hari ini kamu tidak sadar.”
          Bunga hanya terlihat bingung, tak mampu berpikir.
          “Sudahlah Bunga, kamu harus istirahat. Jangan pikir yang lain.” bujuk Imron.
          “Oh iya Im, aku mau titip surat untuk...”
          “Kang Yesa?” tebak Imron.
          “Iya..” sambil tersenyum. “Ini koleksi yang paling bagus lho Im. Aku titip sekarang ya, aku takut telat.” dia mengulurkan surat merah pada Imron. Imron merasa tak enak hati mendengar kata-kata terakhir Bunga. Imron terlihat bingung sambil melirik Susan. “Kenapa Im?” tanya Bunga.
          “Tapi aku nggak bisa dalam situasi seperti ini Bunga. Maaf.”
          “Kenapa? Apa kang Yesa sudah menikah dengan calon yang pernah dibawanya ke ndalem kemarin?” matanya mulai berkaca-kaca dengan mimik yang terlihat bergetar.
          Susan dan Imron tak dapat berkata apa-apa. Mereka tak tega mengatakan semuanya pada sahabat kecilnya. Susan yang merasa dewasa, mencoba menjelaskan dengan perlahan tanpa membuat Bunga menangis untuk kesekian kalinya.
          “Kang Yesa kemarin kecelakaan dengan calon istrinya. Sayangnya, calon istri harus dipanggil Allah.” Susan mencoba untuk menahan air matanya agar tak jatuh. “Dan kini Kang Yesa keadaannya sangat kritis. Dia banyak kehabisan darah. Kemungkinan....”
          Bunga sangat terkejut mendengar semua itu. Dia segera melepas selimut yang menutup tubuhnya. Dia turun dari kasur, mngambil invus yang ada di gantungan. Dia berlari keluar kamar. Tak menghiraukan teriakan Susan dan Imron yang mencoba mencegahnya. Tapi Bunga keras kepala. Dia berhenti di depan kaca ruang Kang Yesa dirawat. Tak kuasa melihat santri idamannya merasakan sakit begitu berat, lebih dari dirinya.
          Ketika dokter keluar dari ruangan itu, Bunga menarik tangan dokter itu ke lorong kecil. Bunga memohon supaya dia diambil darahnya untuk menolong Kang Yesa. Tetapi dokter menolak. Apapun yang dilakukannya hingga mohon ampun kepada dokter supaya diizinkannya. Sampai-sampai dia mengambil gunting yang ada disampingnya untuk menyobek tangannya supaya keluar darah. Dokter tak tega melihat permohonan Bunga yang terlihat sangat tulus nampak dari air matanya. Akhirnya dokter mengizinkannya.
          Kini keluarga ndalem dan seluruh santri putra maupun putri digeluti kebahagiaan dan kedukaan. Bahagia karena Kang Yesa telah kembali ke ndalem dalam keadaan sehat. Berduka karena Bunga harus kembali ke pangkuan Sang Pencipta. Betapa sedih dan terpukulnya sahabat seperti Susan dan Imron yang harus menyampaikan pesan terakhirnya. Dan betapa menyesalnya Kang Yesa yang telah menyia-nyiakan santriwati yang juga dicintainya harus pergi meninggalkannya. Kini hanya ada setumpuk surat yang sudah tiga tahun usianya untuk mewakili perasaan Bunga yang sebenarnya selama ini dia simpan di relung hatinya paling dalam.


By : Layka..

Hafalan Shalat Delisa

Diposting oleh Layka Meyshera di 04.02 0 komentar

Hafalan Shalat Delisa

            Delisa adalah gadis kecil yang tinggal di sebuah keluarga kecil.  Dia anak sulung dari empat bersaudara. Dia tinggal bersama saudara dan umminya di Aceh. Sedangkan abinya bekerja di luar negri. Jarang sekali pulang.
                Suatu ketika dia dijanjikan oleh umminya apabila dia mampu menghafal shalat dengan baik, maka umminya akan memberikan hadiah kalung. Delisa pun semangat untuk hafalan, teapi masih juga hafalannya terbalik-balik. Tetapi kakak kembar Delisa, Zahra, tak begitu suka melihat Delisa disayang oleh umminya apalagi sampai dibelikan kalung. Zahra selalu iri dengan apa yang didapat oleh Delisa. Merekapun juga sering bertengkar. Tetapi kakak bungsunya, Fatimah, selalu melerai kedua adiknya itu ketika bertengkar.
                “Yang liontinnya berinisial “D” ada tidak?”
                “Oh, ada, tunggu sebentar, Cik carikan dulu, ya Delisa.” setelah Delisa menunggu akhirnya ada juga yang berinisial “D”.
                “Wow, ini bagus sekali, Ummi.” dengan wajah yang sangat ceria dan bahagia.
                “Tapi, kalung ini ummi berikan pada Delisa kalau Delisa sudah lulus ujian shalatnya, ya.” Wajah Delisa pun menjadi sedikit muram. Sebenarnya Delisa ingin sekali segera memakai kalung itu.
                Suatu hari abi Delisa menelfon rumah. Delisa dan saudaranya pun berkumpul untuk mendengar suara abinya. Dan ketika itu abinya berjanji kepada Delisa akan memberikan sebuah sepeda apabila dia sudah lulus ujian hafalan shalat. Dia pun semakin girang dan bersemangat untuk menghafal shalat. Tetapi disisi lain ternyata Zahra menangis menyayat hati. Dia iri dengan Delisa. Tetapi umminya selalu memberikan pengertian kepada Zahra supaya tidak iri dengki terhadap sesama saudaranya, adiknya sendiri.
                Hari ini Delisa sudah menyiapakan segalanya untuk menempuh ujian. Umminya juga sudah siap untuk menemaninya dan selalu memberikan dukungan, begitu juga dengan ketiga saudaranya, termasuk Zahra yang sudah mulai sayang kepada Delisa. Ketika umminya dan Delisa hendak mengambil kalung yang disimpan di almari, tiba-tiba saja mereka merasakan gempa yang kuat di dalam rumah. Bersama Delisa, umminya segera keluar dari rumah. Keluarga kecil itupun berkumpul di depan rumah. Ketika gempa sudah redaDelisa dan umminya tetap pergi ke sekolah. Sedangkan Fatimah dirumah bersama adiknya Zahra dan Aisyah.
                Dengan niat bismillahirrohmanirrohim, Delisa pun mulai praktek shalat. Diuji oleh ustazdnya, ustadz Fathir, dan seorang gurunya. Diluar sana umminya memberikan dukungan penuh pada Delisa. Sambil memperlihatkan kalungnya pada Delisa, Delisa pun tersenyum. Sayang sekali, belum sampai setengah dia praktek shalat. Tiba-tiba gempa itu datang lagi. Yang sekarang terasa lebih kuat. Semua orang pun bingung kalang kabut, termasuk ummi Delisa. Tetapi Delisa tetap melanjutkan praktek shalatnya karena dia ingat dengan kata ustadznya,“Jika kamu shalat, ada kejadian apapun diluar sana, kamu harus tetap konsentrasi pada shalat”. Sampai-sampai Delisa pun tak menghiraukan teriakan umminya. Hinnga akhirnya dia terhempas oleh tsunami. Termakan oleh air bersama juga dengan Tiur, salah satu sahabatnya.
                Delisa terdampar di tempat yang asing baginya. Sudah dua hari ini dia tergeletak di atas batu besar dengan keadaan yang sangat mengenaskan. Dia terkejut ketika melihat Tiur terbujur kaku tak berdaya disampingnya. Untungnya dia menemukan apel pada saat itu. Tapi sayang sekali tak ada orang yang menemukannya. Sedangkan abinya bingung mencari keluarganya setelah mendengar berita Tsunami.
            Sampai empat hari Delisa baru ditemukan oleh tim SAR dari Amerika, Smith. Akhirnya dia langsung membawa Delisa ke rumahsakit. Delisa dirawat oleh Shofie. Sayang sekali ternyata luka kaki Delisa terlalu parah hingga harus diamputasi. Delisa pikir kakinya hilang terbawa air. Hingga kini dia harus menggunakan kursi roda untuk mengantar dia kemana-mana. Smith dan Shofie begitu sayang pada Delisa. Bahkan Smith ingin mengambil Delisa menjadi anaknya dan membawanya ke Amerika. Tetapi sayangnya ketika itu abi Delisa sudah menemukannya. Delisa dan abinya sangat bahagia, tetapi Smith sempat sedih karena kesempatannya untuk memiliki Delisa sudah hilang.
                Aceh kini sudah tak seindah dulu lagi. Bahkan rumah Delisa sudah hanyut terbawa air tinggal puing-puingnya saja. Kak Fatimah, Kak Aisyah, dan Kak Zahra juga sudah meninggalkan Delisa. Umminya tak tahu hilang kemana. Kini Delisa tinggal hanya bersama abinya. Walaupun Delisa kehilangan saudaranya, bahkan kakinya. Dia sama sekali tak sedih. Ustadz Fathir selalu mengingatkan Delisa untuk ikhlas. Lagipula masih ada kak Smith, Kak Shofie, ustadz Fathir, dan abinya yang sangat sayang padanya. Delisa pun teringat pesan uminya bahwa dia harus mnyelesaikan hafalan shalatnya.
                Kali ini Delisa serius dengan hafalannya. Sekarang tidak lagi dia melakukannya hanya untuk mendapatkan hadiah kalung dari umminya. Tetapi dia benar-benar ingin shalat secara baik dan benar. Bahkan suatu hari dia bermimpi bertemu dengan umminya dan umminya memberikan kalung padanya. Tetapi Delisa menolaknya. “Aku tidak ingin kalung itu lagi, ummi. Yang aku ingin hanya shalat dengan baik supaya bisa mendoakan ummi di surga.”
                Hari ini Delisa praktek shalat untuk yang kedua kalinya. Kali ini bukan umminya lagi yang menemani dan mendukungnya, melainkan abinya. Dengan lancar dan baik dia mengahfal praktek shalatnya. Dan akhirnya ustadz Fathir menyatakan bahwa Delisa lulus ujian. Delisa dan abinya sangat bahagia. Akhirnya kini dia lulus dan akan bisa mendoakan untuk keluarga yang mereka sayang yang telah meninggalkannya.

(dikutip dari film Hafalan Shalat Delisa, 2011)

Tulisanku Adalah Hidupku

Diposting oleh Layka Meyshera di 03.59 1 komentar


Tulisanku Adalah Hidupku

Menulis bebas itu rasanya seperti melayang di udara bebas tanpa ada yang mengekang.
Bebas berekspresi dan berimajinasi.
Berimajinasi yang tak ada batasnya adalah hal yang sangat menyenangkan bagiku.
Karena imajinasi adalah penggambaran tentang apa yang ingin kita capai.
Walaupun imajinasi adalah hanya khayalan semata.
Siapa tahu imajinasi kita jadi kenyataan, bukan?
Karena apa yang pernah aku tulis adalah sebagai tanda garis hidup yang telah aku tentukan.
Ketika aku menulis, banyak sekali tantangan dan rintangan yang aku hadapi.
Kehabisan ide, kehabisan kata-kata, cerita tak tahu arah ntah kemana.
Semua itu sebagai tanda wujud hidupku yang banyak duka dan suka sama seperti perjalanan menulis.
Keikaaku merasa telah sampai di titik langit yang paling atas.
Aku merasakan begitu dalamnya perjalanan besar yang telah aku lewati.
Dan setelah aku tahu bagaimana rasanya perjuangan menulis.
Aku akan memetik satu saja hal yang bukan hanya aku rasakan, tapi juga aku miliki sepenuhnya.
So, jangan takut untuk berimajinasi dan menciptakan hal-hal baru yang belum ada kawan.

By: Layka

Selasa, 21 Februari 2012

Penantian Kosong

Diposting oleh Layka Meyshera di 21.19 0 komentar

Penantian Kosong

Musim hujan belum juga berhenti berganti musim panas yang aku tunggu. Sama seperti aku yang selalu menunggu kehadiran seorang ibu di pelukan hangatku. Aku tidak pernah tau mengapa aku berbeda dengan remaja lainnya yang berhak mendapat kasih sayang seorang ibu. Ataukah aku bukan anak yang beruntung?
“Mey, ayo masuk ke rumah, di luar dingin sekali.”
“Akankah aku tidak pernah melihat ibu setiap malam, kak?”
“Kamu, kan, sudah dewasa. Pasti kamu tahu ibu kemana.”
“Maksud kakak?”
“Sudah 10 tahun kita ditinggal ayah. Kamu tahu, kan, bagaimana kondisi kita semua sejak itu. Ibu banting tulang demi kita, kamu dan kakak. Ibu berjuang demi kita. Kakak harap kamu tidak kecewakan ibu.” kak Sinta meninggalkanku dengan isak tangis.Aku pun tetap menunggu sampai ibu pulang. Tak ku hiraukan walapun dingin menusuk tulang. Selimut dari kak Sinta pun tak menghangatkan tubuhku sebelum aku mendapat pelukan ibu.
            Hari ini kak Sinta bangun pagi sekali, tak seperti biasanya. Dia bekerja setiap pagi sampai sore. Demi membantu ibu dia rela tak melanjutkan kuliah. Sedangkan aku, masih duduk di bangku SMA.
            “Mey, kakak hari ini tidak bisa pulang temani kamu. Kakak ada pekerjaan di Jakarta untuk menggantikan bos kakak.”
            “Kapan kakak pulang?” tanyaku sambil mengambil roti sisir.
            “Kak Sinta juga nggak tau, Mey. Tapi kakak janji kalau sudah selesai pasti kakak akan pulang.” Sambil menatap mataku tajam.
            “Kakak janji?” ku ulurkan jari kelingkingku.
            “Janji!” dia juga mengulurkan jari kelingkingnya. “Eits, tapi Meysa juga harus janji sama kakak.”
            “Apa?”
            “Mesya janji nggak akan menunggu ibu sampai larut malam. Sekali ini saja Mey, jangan buat kakak khawatir dan tidak nyaman bekerja. Kamu tahu kan ini semua untuk siapa?”
Aku sedikit ragu menjawab janji kakak. Aku pun juga tak tahu kapan ibu akan pulang. Aku bimbang dan hanya termenung menatap mata kakak yang berkaca-kaca.
            “Mey?” tangan kakak membelai rambutku dengan kasih sayang.
            “Ehm, iya kak, aku janji.” Kak Sinta memelukku dan meneteskan air mata. Entah mengapa hatiku terasa miris ketika kakak memelukku. Hatiku tak rela jika aku terlepas dengan kakak, walaupun hanya sehari saja. Kakak lah yang selama ini memberikan kasih sayang pengganti ibu yang tak pernah ada di sisiku.
            “Pagi Mey.” Mery menyambutku dengan wajah yang sumringah.
            “Pagi juga Mer. Gembira banget, sih, kamu. Ada apa?”
            “Yahh, pasti belum tau ya? Besok malam, kan, ada acara ESQ di sekolah. Dan ortu juga ikut serta lho Mey. Itu kan kesempatan buat kita gabung sama ortu.”
            “Yeah, mungkin buat kamu ini kesempatan bagus. Tapi... mungkin belum untuk aku Mer.” Ku coba bertahan tegar agar tidak menangis, tetapi tidak bisa.
            “Mey, dont be sad! Aku... aku tahu keadaan kamu. Tapi aku yakin kamu bisa buktikan ke temen-temen kalau kamu punya ibu yang sayang sama kamu. Bagaimana pun yang namanya ibu pasti sayang dengan anaknya Mey.” Sambil memegang erat tanganku tuk meyakinkanku.
            Bagaimana mungkin aku bisa membujuk ibu dalam waktu satu hari. Kak Sinta sudah pasti tidak bisa menemaniku dan aku tidak mau merepotkannya. Aku tidak ingin merepotkan Kak Sinta. Aku bingung apa yang harus aku lakukan. Jika menemui ibu, aku juga tak tahu dimana ibu bekerja. Selama ini ibu tidak pernah memeberi tahu dimana dia bekerja.
            Malam itu aku memang tidak menunggu ibu di depan rumah seperti biasanya. Aku tidak ingin ingkar janji dengan Kak Sinta yang terlalu sayang denganku. Aku tekadkan untuk masuk ke kamar ibu. Terlihat rapi seperti kamar yang tak pernah berpenghuni. Aku coba buka almari ibu, barangkali ada sesuatu petunjuk dimana ibu bekerja. Aku menemukan sebuah amplop merah, warna kesukaan ibu. Di dalamnya terdapat surat dari ayah sebelum dia meninggal. Aku jadi rindu ayah. Mengingat masa-masa yang indah bersama ayah terlalu sulit untuk dilupakan. Tetapi sekarang hanyalah jadi kenangan manis yang tak pernah tergantikan oleh siapapun.
            Tak ingin terlalu lama mengingat ayah, aku membuka amplop selanjutnya. Aku menemukan alamatnya. Tak ambil waktu lama aku segera bergegas menuju alamat itu. Tempatnya di tengah-tengah keramaian. Aku heran, di sana sini banyak sekali perempuan-perempuan berpakaian seksi. Tak tanggung-tanggung jari mereka mengapit batang rokok yang berasap. Tempat itu terlalu asing bagiku.
            “Anak manis, ngapain kamu di sini?” seorang perempuan seksi menghampiriku.
            ”Saya mau cari ibu saya. Namanya Susi Larasati.” Kusodorkan foto ibu yang ku bawa. Dengan muka gerang tiba-tiba perempuan itumenjatuhkan rokoknya dan diinjak dengan kakinya.
            “Jadi kamu anaknya Susi yang akan dijadikan penerusnya nanti?”
            “Penerus? Maksudnya penerus apa?”
            “Lihat sendiri apa yang dilakukan ibumu selama ini. Dia di lantai atas. Dasar ibu tidak punya perasaan!”
Perempuan itu langsung meninggalkanku. Aku bingung dengan apa yang dikatakan perempuan tadi. Aku langsung beranjak ke lantai atas. Begitu terkejutnya seorang anak melihat ibunya bersama laki-laki yang bukan ayahnya. Sama halnya seperti laki-laki hidung belang dan seorang pelacur. Aku tak dapat berbuat apa-apa. Akukaku berdiri dan tangis pun mulai jatuh deras. Tak kuasa melihat ibun, aku berlari keluar dan turun ke bawah. Betapa sakit hatiku karena kesetiaanku selama ini kepada ibu hanya dibalas dengan perlakuan yang bejat. Walaupun dia menegejarku dan aku pun dulu ingin dipeluknya, sama sekali tidak ingin lagi. Aku menyesal...
Kisah pahitku tak terhenti disini saja. Sepulangnya dari tempat bejat itu, aku disambut dengan banyak orang di rumah. Dalam kegelapan malam, orang-orang di dalam rumah di selimuti duka penuh tangis. Aku tak tahu apa yang terjadi. Yang aku tahu hanyalah Kak Sinta yang telah terbujur kaku pucat pasi ditutup dengan kaih putih suci. Aku pikir tangisku takkan keluar lagi, ternyata kakak yang selama ini sayang kepadaku membuatku menangis lebih dari apapun. Dia meninggal ketika kecelakaan pesawat menuju Jakarta.
Kutinggalkan semua kenangan indah bersama kakak tersayang di atas batu nisan ini. Aku tak tahu bagaimana nasibku yang kini hanya bisa direnggut sepi sunyi tiada arti lagi.

By : Layka
 

Kumpulan Cerpen By Lay Copyright 2009 Sweet Cupcake Designed by Ipiet Templates Image by Tadpole's Notez