Rabu, 29 Februari 2012

Kado Terindah

Diposting oleh Layka Meyshera di 17.33

Kado Terindah

Aku suka sekali menghabiskan waktuku di kamar. Bukan berati aku hanya tidur sepuasnya. Hal yang paling sering aku lakukan adalah menulis. Menulis apa saja yang aku suka. Bahkan mataku sudah peka di depan laptop karena aku suka menulis novel. Walaupun belum pernah terbit, aku senang karena aku enjoy saat menulis. Dan aku juga punya cita-cita menjadi seorang penulis.
Kebiasaan yang aku gemari itu ternyata tak begitu disuka dalam keluargaku, terutama ayahku. Dia sama sekali tak suka jika aku menulis, apalagi menjadi seorang penulis. Ayah selalu membimbingku untuk fokus pada kuliah. Ayah selalu memaksaku untuk belajar, untuk rajin, untuk tekun, padahal aku tak suka. Memang aku terbilang anak tak pandai. Tetapi bukan berati aku tak punya talent, ayah sama sekali tak mengerti aku.
Suatu ketika aku ada jadwal kuliah, aku pura-pura sakit. Akhirnya ayah mengizinkan aku supaya tidak masuk dan istirahat di kamar. Tentunya aku tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Segera ku buka laptopku dan jari-jariku mulai menari sesuka hati. Aku merasa lebih nyaman berimajinasi daripada belajar. Berimajinasi sesuka hati tanpa ada paksaan sedikitpun. Tetapi ketika aku sedang asyik menulis novel, tiba-tiba saja ayahku masuk ke kamarku tanpa permisi.
“Kesha, apa-apaan kamu? Bukannya kamu harus istirahat? Atau kamu bohong sama ayah kalau sebenarnya kamu tidak sakit, ha?” mata ayah melotot memandangku.
“Tapi, yah! Please!” akupun memohon pengertian dengan rasa takut.
“Berapa kali ayah bilang, kamu tidak boleh menulis, ayah tak suka! Kamu harus fokus dengan kuliah kamu dan kamu akan menjadi penerus di kantor ayah nantinya.”
“Ayah! Aku sudah dewasa, aku berhak menentukan hidupku tanpa dipandu ayah lagi. Aku tak suka dipaksa. Aku ingin bebas!”
“Berani kamu, ya!”
Plak...” tangan ayah telah berhasil mendarat di pipiku kali ini.
“Ayah, hentikan! Berhenti memaksa Kesha lagi. Dia sudah dewasa. Benar apa yang dia bilang, dia berhak menentukan hidupnya!” ibuku selalu membelaku di saat-saat genting seperti ini.
“Aku kecewa sama ayah. Aku benci ayah!” aku pun menangis tak kuat menahan rasa sakit di pipi terlebih di hatiku. Akupun segera mengemasi laptopku dan aku segera keluar rumah. aku tak tahan dengan sikap ayah yang selalu memaksaku. Aku ingin bebas terbang bersama imajinasi yang sudah aku kubur di pundi-pundi memoriku.
“Hai, Kesha. Sedang apa?” tiba-tiba datang seorang laki-laki yang langsung duduk di sebelahku.
“Fino?” aku terkejut melihat Fino yang sudah lama tak jumpa dengannya.”Ehm, apa kabar kamu?”
“Baik. Kamu kenapa ke taman bawa-bawa laptop segala. Ngapain?” tanyanya penasaran.
“Ehm, mau cari inspirasi.” kubalas dengan senyuman.
“Inspirasi? Buat apa?”
“Buat tulisan aku. Ya, buat cerpen aku, novel aku. Semuanya.” jari-jariku masih tetap sibuk di atas keybord laptop.
“Oww, masih suka nulis juga? Ayah kamu?”
“Huuft, itu dia yang jadi masalah. Aku sering kabur darinya cuman gara-gara aku harus selamatin tulisan aku. Pahit ya kalau inget pas dulu ayah pernah buang draft novel aku yang pertama. Dia sama sekali tak menghargaiku.”
“Tapi aku sama sekali belum pernah  membaca tulisan kamu lho Key. Boleh nggak aku pinjam tulisan kamu?”
“Of course, boleh lah. Dibaca nggak? Kamu kan, sibuk kuliah. Secara gitu, kan, kamu anak pinter, rajin lagi.”
“Jangan berlebih. Pasti aku sempetin baca kok Key.” dia membalas dengan senyum kepastian.
Walaupun ayah tak suka jika aku menulis, aku tak kehilangan akal untuk tetap mngembangkan talentku. Aku menulis beberapa cerpenku di blogku. Karena itu lebih aman daripada dalam bentuk draft yang bisa diambil dan dibuang ayah kapan saja.
Ternyata tulisan yang aku tulis di blog menarik beberapa orang. Salah satunya Mas Doni. Kebetulan dia adalah seorang editor. Bahkan dia menawarkanku untuk menjual tulisanku di pasaran. Aku sangat girang saat itu karena aku pikir aku akan bisa menunjukkan pada ayah bahwa tulisanku ini ada manfaatnya.
 “Ayah, Ibu, aku mau tanya sesuatu. Mungkin ini sedikit mengejutkan buat kalian. Tapi hal ini benar-benar penting buat Kesha.”
“Ada apa Key? Tak seperti  biasanya kamu bicara penting dengan kita seperti ini.
“Ehm, setelah aku pikir-pikir, aku memutuskan untuk berhenti kuliah Bu, Yah.”
“Apa kamu bilang? Kamu pikir selama ini ayah menguliahkan kamu untuk apa, ha?”
“Yah, tapi aku nggak suka. I love to do, and to do for love. Kalau aku lanjutkan kuliah aku juga bakalan rugi. Aku nggak pernah suka dan nggak akan suka.”
“Tapi apa kamu yakin, Key?” ibu mencoba menenangkan suasana.
“Aku yakin, Bu. aku akan buktikan kalau aku ini bisa tanpa kuliah. Dan aku akan menjadi seorang penulis handal. Sebentar lagi bukuku pasti terbit.”
“Jangan mimpi kamu. Ingat ya Key, jangan sampai berharap minta tolong ayah jika kamu ternyata gagal. Ingat itu!” ayah langsung meninggalkanku pergi. Hatiku semakin kecil karena aku merasa tak ada dorongan lagi, kecuali ibuku.
Keesokan harinya aku bertemu dengan mas Doni. Orangnya begitu ramah. Dan yang sangat mengejutkan adalah ternyata dia tahu tentang cerpenku dari Fino. Hmm, aku tak menyangka Fino sebaik itu padaku. Dan kitapun mulai bekerja sama. Satu per satu aku berikan novelku pada mas Doni, dibantu dengan Fino juga. Lalu di edit oleh mas Doni hingga semuanya menjadi sangat indah dan rapi. Akhirnya satu per satu cerpen dan novel yang selama ini aku buat bisa terbit juga. Aku bangga sekali karena bukuku sudah dipajang di toko-toko buku dan di beberapa perpustakaan. Bahkan banyak yang laku dijual. Namaku, Kesha Alisabeth juga semakin melambung tinggi sebagai penulis muda yang berjiwa talent. Semua itu berkat mas Doni dan Fino yang setia membantuku.
Sayangnya selama karierku ini berjalan dengan baik, ayah tak pernah ingin tahu. Aku pun tak pernah memberitahunya, bahkan tak pernah pulang. Selama aku berkarya aku tinggal di apartement ayah. Aku pun juga rindu dengan ibu. Ingin sekali rasanya memberi tahunya bahwa sekarang ini aku telah berhasil. Aku bisa mewujudkan mimpiku yang selama ini selalu dikekang. Tapi aku tahu ini belum saatnya untuk bertemu dengan mereka.
Betapa bahagianya aku hari ini. Tepat di hari ulang tahunku yang ke 20. Ingin sekali aku merayakannya di rumah sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Mendapat sentuhan hangat dari ibu dan kado terbaik dari ayah. Tapi aku pikir aku sudah dewasa, aku mandiri. Aku tak mengharapkan itu lagi. Hidupku serasa selalu terpisah dari orang tuaku.
Ketika itu aku ada jadwal jumpa pers. Aku senang sekali karena banyak fans yang hadir saat itu. Mereka juga mengikuti bedah novelku. Aku tak menyangka bahwa banyak orang  yang menyukai novel pertamaku, Bunga di Sudut Pesantren. Dan hal yang paling aku kejutkan adalah ketika aku melihat ayah dan ibuku hadir pula dalam jumpa pers. Aku pun menangis dalam kebahagiaan. Tak kusangka hati ayah telah luluh dan bisa menghargai aku.
“Ayah.” aku memeluk dalam dekapannya. “Aku tak menyangka ayah mau datang.”
“Ayah bangga padamu Key, sekarang ayah percaya padamu karena kamu telah membuktikannya.” senyuman ayah yang lebar membuatku semakin tenang.
“Selamat ulang tahun, sayang.” tiba-tiba ibu datang dengan membawa kue tart. “Ayo tiup lilinnya, make a wish dulu ya, Kesha sayang.”
Akupun meniupkan lilinnya. Setelah berkumpul bersama untuk potong kue, bersama mas Doni dan Fino juga. Betapa bahagianya sekali aku hari ini. Akhirnya aku bisa berkumpul lagi dengan orang tuaku. Dalam situasi yang sangat sempurna, lebih dari tahun-tahun sebelumnya. Dan ini lah kado terindah yang pernah aku dapat.

By : Layka

0 komentar on "Kado Terindah"

Posting Komentar

Rabu, 29 Februari 2012

Kado Terindah

Diposting oleh Layka Meyshera di 17.33

Kado Terindah

Aku suka sekali menghabiskan waktuku di kamar. Bukan berati aku hanya tidur sepuasnya. Hal yang paling sering aku lakukan adalah menulis. Menulis apa saja yang aku suka. Bahkan mataku sudah peka di depan laptop karena aku suka menulis novel. Walaupun belum pernah terbit, aku senang karena aku enjoy saat menulis. Dan aku juga punya cita-cita menjadi seorang penulis.
Kebiasaan yang aku gemari itu ternyata tak begitu disuka dalam keluargaku, terutama ayahku. Dia sama sekali tak suka jika aku menulis, apalagi menjadi seorang penulis. Ayah selalu membimbingku untuk fokus pada kuliah. Ayah selalu memaksaku untuk belajar, untuk rajin, untuk tekun, padahal aku tak suka. Memang aku terbilang anak tak pandai. Tetapi bukan berati aku tak punya talent, ayah sama sekali tak mengerti aku.
Suatu ketika aku ada jadwal kuliah, aku pura-pura sakit. Akhirnya ayah mengizinkan aku supaya tidak masuk dan istirahat di kamar. Tentunya aku tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Segera ku buka laptopku dan jari-jariku mulai menari sesuka hati. Aku merasa lebih nyaman berimajinasi daripada belajar. Berimajinasi sesuka hati tanpa ada paksaan sedikitpun. Tetapi ketika aku sedang asyik menulis novel, tiba-tiba saja ayahku masuk ke kamarku tanpa permisi.
“Kesha, apa-apaan kamu? Bukannya kamu harus istirahat? Atau kamu bohong sama ayah kalau sebenarnya kamu tidak sakit, ha?” mata ayah melotot memandangku.
“Tapi, yah! Please!” akupun memohon pengertian dengan rasa takut.
“Berapa kali ayah bilang, kamu tidak boleh menulis, ayah tak suka! Kamu harus fokus dengan kuliah kamu dan kamu akan menjadi penerus di kantor ayah nantinya.”
“Ayah! Aku sudah dewasa, aku berhak menentukan hidupku tanpa dipandu ayah lagi. Aku tak suka dipaksa. Aku ingin bebas!”
“Berani kamu, ya!”
Plak...” tangan ayah telah berhasil mendarat di pipiku kali ini.
“Ayah, hentikan! Berhenti memaksa Kesha lagi. Dia sudah dewasa. Benar apa yang dia bilang, dia berhak menentukan hidupnya!” ibuku selalu membelaku di saat-saat genting seperti ini.
“Aku kecewa sama ayah. Aku benci ayah!” aku pun menangis tak kuat menahan rasa sakit di pipi terlebih di hatiku. Akupun segera mengemasi laptopku dan aku segera keluar rumah. aku tak tahan dengan sikap ayah yang selalu memaksaku. Aku ingin bebas terbang bersama imajinasi yang sudah aku kubur di pundi-pundi memoriku.
“Hai, Kesha. Sedang apa?” tiba-tiba datang seorang laki-laki yang langsung duduk di sebelahku.
“Fino?” aku terkejut melihat Fino yang sudah lama tak jumpa dengannya.”Ehm, apa kabar kamu?”
“Baik. Kamu kenapa ke taman bawa-bawa laptop segala. Ngapain?” tanyanya penasaran.
“Ehm, mau cari inspirasi.” kubalas dengan senyuman.
“Inspirasi? Buat apa?”
“Buat tulisan aku. Ya, buat cerpen aku, novel aku. Semuanya.” jari-jariku masih tetap sibuk di atas keybord laptop.
“Oww, masih suka nulis juga? Ayah kamu?”
“Huuft, itu dia yang jadi masalah. Aku sering kabur darinya cuman gara-gara aku harus selamatin tulisan aku. Pahit ya kalau inget pas dulu ayah pernah buang draft novel aku yang pertama. Dia sama sekali tak menghargaiku.”
“Tapi aku sama sekali belum pernah  membaca tulisan kamu lho Key. Boleh nggak aku pinjam tulisan kamu?”
“Of course, boleh lah. Dibaca nggak? Kamu kan, sibuk kuliah. Secara gitu, kan, kamu anak pinter, rajin lagi.”
“Jangan berlebih. Pasti aku sempetin baca kok Key.” dia membalas dengan senyum kepastian.
Walaupun ayah tak suka jika aku menulis, aku tak kehilangan akal untuk tetap mngembangkan talentku. Aku menulis beberapa cerpenku di blogku. Karena itu lebih aman daripada dalam bentuk draft yang bisa diambil dan dibuang ayah kapan saja.
Ternyata tulisan yang aku tulis di blog menarik beberapa orang. Salah satunya Mas Doni. Kebetulan dia adalah seorang editor. Bahkan dia menawarkanku untuk menjual tulisanku di pasaran. Aku sangat girang saat itu karena aku pikir aku akan bisa menunjukkan pada ayah bahwa tulisanku ini ada manfaatnya.
 “Ayah, Ibu, aku mau tanya sesuatu. Mungkin ini sedikit mengejutkan buat kalian. Tapi hal ini benar-benar penting buat Kesha.”
“Ada apa Key? Tak seperti  biasanya kamu bicara penting dengan kita seperti ini.
“Ehm, setelah aku pikir-pikir, aku memutuskan untuk berhenti kuliah Bu, Yah.”
“Apa kamu bilang? Kamu pikir selama ini ayah menguliahkan kamu untuk apa, ha?”
“Yah, tapi aku nggak suka. I love to do, and to do for love. Kalau aku lanjutkan kuliah aku juga bakalan rugi. Aku nggak pernah suka dan nggak akan suka.”
“Tapi apa kamu yakin, Key?” ibu mencoba menenangkan suasana.
“Aku yakin, Bu. aku akan buktikan kalau aku ini bisa tanpa kuliah. Dan aku akan menjadi seorang penulis handal. Sebentar lagi bukuku pasti terbit.”
“Jangan mimpi kamu. Ingat ya Key, jangan sampai berharap minta tolong ayah jika kamu ternyata gagal. Ingat itu!” ayah langsung meninggalkanku pergi. Hatiku semakin kecil karena aku merasa tak ada dorongan lagi, kecuali ibuku.
Keesokan harinya aku bertemu dengan mas Doni. Orangnya begitu ramah. Dan yang sangat mengejutkan adalah ternyata dia tahu tentang cerpenku dari Fino. Hmm, aku tak menyangka Fino sebaik itu padaku. Dan kitapun mulai bekerja sama. Satu per satu aku berikan novelku pada mas Doni, dibantu dengan Fino juga. Lalu di edit oleh mas Doni hingga semuanya menjadi sangat indah dan rapi. Akhirnya satu per satu cerpen dan novel yang selama ini aku buat bisa terbit juga. Aku bangga sekali karena bukuku sudah dipajang di toko-toko buku dan di beberapa perpustakaan. Bahkan banyak yang laku dijual. Namaku, Kesha Alisabeth juga semakin melambung tinggi sebagai penulis muda yang berjiwa talent. Semua itu berkat mas Doni dan Fino yang setia membantuku.
Sayangnya selama karierku ini berjalan dengan baik, ayah tak pernah ingin tahu. Aku pun tak pernah memberitahunya, bahkan tak pernah pulang. Selama aku berkarya aku tinggal di apartement ayah. Aku pun juga rindu dengan ibu. Ingin sekali rasanya memberi tahunya bahwa sekarang ini aku telah berhasil. Aku bisa mewujudkan mimpiku yang selama ini selalu dikekang. Tapi aku tahu ini belum saatnya untuk bertemu dengan mereka.
Betapa bahagianya aku hari ini. Tepat di hari ulang tahunku yang ke 20. Ingin sekali aku merayakannya di rumah sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Mendapat sentuhan hangat dari ibu dan kado terbaik dari ayah. Tapi aku pikir aku sudah dewasa, aku mandiri. Aku tak mengharapkan itu lagi. Hidupku serasa selalu terpisah dari orang tuaku.
Ketika itu aku ada jadwal jumpa pers. Aku senang sekali karena banyak fans yang hadir saat itu. Mereka juga mengikuti bedah novelku. Aku tak menyangka bahwa banyak orang  yang menyukai novel pertamaku, Bunga di Sudut Pesantren. Dan hal yang paling aku kejutkan adalah ketika aku melihat ayah dan ibuku hadir pula dalam jumpa pers. Aku pun menangis dalam kebahagiaan. Tak kusangka hati ayah telah luluh dan bisa menghargai aku.
“Ayah.” aku memeluk dalam dekapannya. “Aku tak menyangka ayah mau datang.”
“Ayah bangga padamu Key, sekarang ayah percaya padamu karena kamu telah membuktikannya.” senyuman ayah yang lebar membuatku semakin tenang.
“Selamat ulang tahun, sayang.” tiba-tiba ibu datang dengan membawa kue tart. “Ayo tiup lilinnya, make a wish dulu ya, Kesha sayang.”
Akupun meniupkan lilinnya. Setelah berkumpul bersama untuk potong kue, bersama mas Doni dan Fino juga. Betapa bahagianya sekali aku hari ini. Akhirnya aku bisa berkumpul lagi dengan orang tuaku. Dalam situasi yang sangat sempurna, lebih dari tahun-tahun sebelumnya. Dan ini lah kado terindah yang pernah aku dapat.

By : Layka

0 komentar:

Posting Komentar

 

Kumpulan Cerpen By Lay Copyright 2009 Sweet Cupcake Designed by Ipiet Templates Image by Tadpole's Notez