Selasa, 21 Februari 2012

Penantian Kosong

Diposting oleh Layka Meyshera di 21.19

Penantian Kosong

Musim hujan belum juga berhenti berganti musim panas yang aku tunggu. Sama seperti aku yang selalu menunggu kehadiran seorang ibu di pelukan hangatku. Aku tidak pernah tau mengapa aku berbeda dengan remaja lainnya yang berhak mendapat kasih sayang seorang ibu. Ataukah aku bukan anak yang beruntung?
“Mey, ayo masuk ke rumah, di luar dingin sekali.”
“Akankah aku tidak pernah melihat ibu setiap malam, kak?”
“Kamu, kan, sudah dewasa. Pasti kamu tahu ibu kemana.”
“Maksud kakak?”
“Sudah 10 tahun kita ditinggal ayah. Kamu tahu, kan, bagaimana kondisi kita semua sejak itu. Ibu banting tulang demi kita, kamu dan kakak. Ibu berjuang demi kita. Kakak harap kamu tidak kecewakan ibu.” kak Sinta meninggalkanku dengan isak tangis.Aku pun tetap menunggu sampai ibu pulang. Tak ku hiraukan walapun dingin menusuk tulang. Selimut dari kak Sinta pun tak menghangatkan tubuhku sebelum aku mendapat pelukan ibu.
            Hari ini kak Sinta bangun pagi sekali, tak seperti biasanya. Dia bekerja setiap pagi sampai sore. Demi membantu ibu dia rela tak melanjutkan kuliah. Sedangkan aku, masih duduk di bangku SMA.
            “Mey, kakak hari ini tidak bisa pulang temani kamu. Kakak ada pekerjaan di Jakarta untuk menggantikan bos kakak.”
            “Kapan kakak pulang?” tanyaku sambil mengambil roti sisir.
            “Kak Sinta juga nggak tau, Mey. Tapi kakak janji kalau sudah selesai pasti kakak akan pulang.” Sambil menatap mataku tajam.
            “Kakak janji?” ku ulurkan jari kelingkingku.
            “Janji!” dia juga mengulurkan jari kelingkingnya. “Eits, tapi Meysa juga harus janji sama kakak.”
            “Apa?”
            “Mesya janji nggak akan menunggu ibu sampai larut malam. Sekali ini saja Mey, jangan buat kakak khawatir dan tidak nyaman bekerja. Kamu tahu kan ini semua untuk siapa?”
Aku sedikit ragu menjawab janji kakak. Aku pun juga tak tahu kapan ibu akan pulang. Aku bimbang dan hanya termenung menatap mata kakak yang berkaca-kaca.
            “Mey?” tangan kakak membelai rambutku dengan kasih sayang.
            “Ehm, iya kak, aku janji.” Kak Sinta memelukku dan meneteskan air mata. Entah mengapa hatiku terasa miris ketika kakak memelukku. Hatiku tak rela jika aku terlepas dengan kakak, walaupun hanya sehari saja. Kakak lah yang selama ini memberikan kasih sayang pengganti ibu yang tak pernah ada di sisiku.
            “Pagi Mey.” Mery menyambutku dengan wajah yang sumringah.
            “Pagi juga Mer. Gembira banget, sih, kamu. Ada apa?”
            “Yahh, pasti belum tau ya? Besok malam, kan, ada acara ESQ di sekolah. Dan ortu juga ikut serta lho Mey. Itu kan kesempatan buat kita gabung sama ortu.”
            “Yeah, mungkin buat kamu ini kesempatan bagus. Tapi... mungkin belum untuk aku Mer.” Ku coba bertahan tegar agar tidak menangis, tetapi tidak bisa.
            “Mey, dont be sad! Aku... aku tahu keadaan kamu. Tapi aku yakin kamu bisa buktikan ke temen-temen kalau kamu punya ibu yang sayang sama kamu. Bagaimana pun yang namanya ibu pasti sayang dengan anaknya Mey.” Sambil memegang erat tanganku tuk meyakinkanku.
            Bagaimana mungkin aku bisa membujuk ibu dalam waktu satu hari. Kak Sinta sudah pasti tidak bisa menemaniku dan aku tidak mau merepotkannya. Aku tidak ingin merepotkan Kak Sinta. Aku bingung apa yang harus aku lakukan. Jika menemui ibu, aku juga tak tahu dimana ibu bekerja. Selama ini ibu tidak pernah memeberi tahu dimana dia bekerja.
            Malam itu aku memang tidak menunggu ibu di depan rumah seperti biasanya. Aku tidak ingin ingkar janji dengan Kak Sinta yang terlalu sayang denganku. Aku tekadkan untuk masuk ke kamar ibu. Terlihat rapi seperti kamar yang tak pernah berpenghuni. Aku coba buka almari ibu, barangkali ada sesuatu petunjuk dimana ibu bekerja. Aku menemukan sebuah amplop merah, warna kesukaan ibu. Di dalamnya terdapat surat dari ayah sebelum dia meninggal. Aku jadi rindu ayah. Mengingat masa-masa yang indah bersama ayah terlalu sulit untuk dilupakan. Tetapi sekarang hanyalah jadi kenangan manis yang tak pernah tergantikan oleh siapapun.
            Tak ingin terlalu lama mengingat ayah, aku membuka amplop selanjutnya. Aku menemukan alamatnya. Tak ambil waktu lama aku segera bergegas menuju alamat itu. Tempatnya di tengah-tengah keramaian. Aku heran, di sana sini banyak sekali perempuan-perempuan berpakaian seksi. Tak tanggung-tanggung jari mereka mengapit batang rokok yang berasap. Tempat itu terlalu asing bagiku.
            “Anak manis, ngapain kamu di sini?” seorang perempuan seksi menghampiriku.
            ”Saya mau cari ibu saya. Namanya Susi Larasati.” Kusodorkan foto ibu yang ku bawa. Dengan muka gerang tiba-tiba perempuan itumenjatuhkan rokoknya dan diinjak dengan kakinya.
            “Jadi kamu anaknya Susi yang akan dijadikan penerusnya nanti?”
            “Penerus? Maksudnya penerus apa?”
            “Lihat sendiri apa yang dilakukan ibumu selama ini. Dia di lantai atas. Dasar ibu tidak punya perasaan!”
Perempuan itu langsung meninggalkanku. Aku bingung dengan apa yang dikatakan perempuan tadi. Aku langsung beranjak ke lantai atas. Begitu terkejutnya seorang anak melihat ibunya bersama laki-laki yang bukan ayahnya. Sama halnya seperti laki-laki hidung belang dan seorang pelacur. Aku tak dapat berbuat apa-apa. Akukaku berdiri dan tangis pun mulai jatuh deras. Tak kuasa melihat ibun, aku berlari keluar dan turun ke bawah. Betapa sakit hatiku karena kesetiaanku selama ini kepada ibu hanya dibalas dengan perlakuan yang bejat. Walaupun dia menegejarku dan aku pun dulu ingin dipeluknya, sama sekali tidak ingin lagi. Aku menyesal...
Kisah pahitku tak terhenti disini saja. Sepulangnya dari tempat bejat itu, aku disambut dengan banyak orang di rumah. Dalam kegelapan malam, orang-orang di dalam rumah di selimuti duka penuh tangis. Aku tak tahu apa yang terjadi. Yang aku tahu hanyalah Kak Sinta yang telah terbujur kaku pucat pasi ditutup dengan kaih putih suci. Aku pikir tangisku takkan keluar lagi, ternyata kakak yang selama ini sayang kepadaku membuatku menangis lebih dari apapun. Dia meninggal ketika kecelakaan pesawat menuju Jakarta.
Kutinggalkan semua kenangan indah bersama kakak tersayang di atas batu nisan ini. Aku tak tahu bagaimana nasibku yang kini hanya bisa direnggut sepi sunyi tiada arti lagi.

By : Layka

0 komentar on "Penantian Kosong"

Posting Komentar

Selasa, 21 Februari 2012

Penantian Kosong

Diposting oleh Layka Meyshera di 21.19

Penantian Kosong

Musim hujan belum juga berhenti berganti musim panas yang aku tunggu. Sama seperti aku yang selalu menunggu kehadiran seorang ibu di pelukan hangatku. Aku tidak pernah tau mengapa aku berbeda dengan remaja lainnya yang berhak mendapat kasih sayang seorang ibu. Ataukah aku bukan anak yang beruntung?
“Mey, ayo masuk ke rumah, di luar dingin sekali.”
“Akankah aku tidak pernah melihat ibu setiap malam, kak?”
“Kamu, kan, sudah dewasa. Pasti kamu tahu ibu kemana.”
“Maksud kakak?”
“Sudah 10 tahun kita ditinggal ayah. Kamu tahu, kan, bagaimana kondisi kita semua sejak itu. Ibu banting tulang demi kita, kamu dan kakak. Ibu berjuang demi kita. Kakak harap kamu tidak kecewakan ibu.” kak Sinta meninggalkanku dengan isak tangis.Aku pun tetap menunggu sampai ibu pulang. Tak ku hiraukan walapun dingin menusuk tulang. Selimut dari kak Sinta pun tak menghangatkan tubuhku sebelum aku mendapat pelukan ibu.
            Hari ini kak Sinta bangun pagi sekali, tak seperti biasanya. Dia bekerja setiap pagi sampai sore. Demi membantu ibu dia rela tak melanjutkan kuliah. Sedangkan aku, masih duduk di bangku SMA.
            “Mey, kakak hari ini tidak bisa pulang temani kamu. Kakak ada pekerjaan di Jakarta untuk menggantikan bos kakak.”
            “Kapan kakak pulang?” tanyaku sambil mengambil roti sisir.
            “Kak Sinta juga nggak tau, Mey. Tapi kakak janji kalau sudah selesai pasti kakak akan pulang.” Sambil menatap mataku tajam.
            “Kakak janji?” ku ulurkan jari kelingkingku.
            “Janji!” dia juga mengulurkan jari kelingkingnya. “Eits, tapi Meysa juga harus janji sama kakak.”
            “Apa?”
            “Mesya janji nggak akan menunggu ibu sampai larut malam. Sekali ini saja Mey, jangan buat kakak khawatir dan tidak nyaman bekerja. Kamu tahu kan ini semua untuk siapa?”
Aku sedikit ragu menjawab janji kakak. Aku pun juga tak tahu kapan ibu akan pulang. Aku bimbang dan hanya termenung menatap mata kakak yang berkaca-kaca.
            “Mey?” tangan kakak membelai rambutku dengan kasih sayang.
            “Ehm, iya kak, aku janji.” Kak Sinta memelukku dan meneteskan air mata. Entah mengapa hatiku terasa miris ketika kakak memelukku. Hatiku tak rela jika aku terlepas dengan kakak, walaupun hanya sehari saja. Kakak lah yang selama ini memberikan kasih sayang pengganti ibu yang tak pernah ada di sisiku.
            “Pagi Mey.” Mery menyambutku dengan wajah yang sumringah.
            “Pagi juga Mer. Gembira banget, sih, kamu. Ada apa?”
            “Yahh, pasti belum tau ya? Besok malam, kan, ada acara ESQ di sekolah. Dan ortu juga ikut serta lho Mey. Itu kan kesempatan buat kita gabung sama ortu.”
            “Yeah, mungkin buat kamu ini kesempatan bagus. Tapi... mungkin belum untuk aku Mer.” Ku coba bertahan tegar agar tidak menangis, tetapi tidak bisa.
            “Mey, dont be sad! Aku... aku tahu keadaan kamu. Tapi aku yakin kamu bisa buktikan ke temen-temen kalau kamu punya ibu yang sayang sama kamu. Bagaimana pun yang namanya ibu pasti sayang dengan anaknya Mey.” Sambil memegang erat tanganku tuk meyakinkanku.
            Bagaimana mungkin aku bisa membujuk ibu dalam waktu satu hari. Kak Sinta sudah pasti tidak bisa menemaniku dan aku tidak mau merepotkannya. Aku tidak ingin merepotkan Kak Sinta. Aku bingung apa yang harus aku lakukan. Jika menemui ibu, aku juga tak tahu dimana ibu bekerja. Selama ini ibu tidak pernah memeberi tahu dimana dia bekerja.
            Malam itu aku memang tidak menunggu ibu di depan rumah seperti biasanya. Aku tidak ingin ingkar janji dengan Kak Sinta yang terlalu sayang denganku. Aku tekadkan untuk masuk ke kamar ibu. Terlihat rapi seperti kamar yang tak pernah berpenghuni. Aku coba buka almari ibu, barangkali ada sesuatu petunjuk dimana ibu bekerja. Aku menemukan sebuah amplop merah, warna kesukaan ibu. Di dalamnya terdapat surat dari ayah sebelum dia meninggal. Aku jadi rindu ayah. Mengingat masa-masa yang indah bersama ayah terlalu sulit untuk dilupakan. Tetapi sekarang hanyalah jadi kenangan manis yang tak pernah tergantikan oleh siapapun.
            Tak ingin terlalu lama mengingat ayah, aku membuka amplop selanjutnya. Aku menemukan alamatnya. Tak ambil waktu lama aku segera bergegas menuju alamat itu. Tempatnya di tengah-tengah keramaian. Aku heran, di sana sini banyak sekali perempuan-perempuan berpakaian seksi. Tak tanggung-tanggung jari mereka mengapit batang rokok yang berasap. Tempat itu terlalu asing bagiku.
            “Anak manis, ngapain kamu di sini?” seorang perempuan seksi menghampiriku.
            ”Saya mau cari ibu saya. Namanya Susi Larasati.” Kusodorkan foto ibu yang ku bawa. Dengan muka gerang tiba-tiba perempuan itumenjatuhkan rokoknya dan diinjak dengan kakinya.
            “Jadi kamu anaknya Susi yang akan dijadikan penerusnya nanti?”
            “Penerus? Maksudnya penerus apa?”
            “Lihat sendiri apa yang dilakukan ibumu selama ini. Dia di lantai atas. Dasar ibu tidak punya perasaan!”
Perempuan itu langsung meninggalkanku. Aku bingung dengan apa yang dikatakan perempuan tadi. Aku langsung beranjak ke lantai atas. Begitu terkejutnya seorang anak melihat ibunya bersama laki-laki yang bukan ayahnya. Sama halnya seperti laki-laki hidung belang dan seorang pelacur. Aku tak dapat berbuat apa-apa. Akukaku berdiri dan tangis pun mulai jatuh deras. Tak kuasa melihat ibun, aku berlari keluar dan turun ke bawah. Betapa sakit hatiku karena kesetiaanku selama ini kepada ibu hanya dibalas dengan perlakuan yang bejat. Walaupun dia menegejarku dan aku pun dulu ingin dipeluknya, sama sekali tidak ingin lagi. Aku menyesal...
Kisah pahitku tak terhenti disini saja. Sepulangnya dari tempat bejat itu, aku disambut dengan banyak orang di rumah. Dalam kegelapan malam, orang-orang di dalam rumah di selimuti duka penuh tangis. Aku tak tahu apa yang terjadi. Yang aku tahu hanyalah Kak Sinta yang telah terbujur kaku pucat pasi ditutup dengan kaih putih suci. Aku pikir tangisku takkan keluar lagi, ternyata kakak yang selama ini sayang kepadaku membuatku menangis lebih dari apapun. Dia meninggal ketika kecelakaan pesawat menuju Jakarta.
Kutinggalkan semua kenangan indah bersama kakak tersayang di atas batu nisan ini. Aku tak tahu bagaimana nasibku yang kini hanya bisa direnggut sepi sunyi tiada arti lagi.

By : Layka

0 komentar:

Posting Komentar

 

Kumpulan Cerpen By Lay Copyright 2009 Sweet Cupcake Designed by Ipiet Templates Image by Tadpole's Notez