Bunga di Sudut Pesantren
Malam ini dingin begitu menusuk
tulang. Para santriwati masih duduk terpaku di masjid mendengarkan ceramah
Kyai. Tetapi seorang gadis yang duduk di tengah masjid itu tak kuat menahan
rasa ingin buang air kecil. Dia pun berlari kecil sambil merunduk ke belakang
masjid hendak menuju kamar mandi. Tampak lagi gadis di belakangnya menyusulnya
juga.
“Bunga,
kamu juga mau buang air kecil? Antri dulu, ya.” sambil menaikkan roknya.
“Tidak.
Sudah, mbak Susan buang air sana nanti keburu ngompol lho. Hik..hik..”
“Lantas
kamu kenapa ada disini? Sebentar lagi, kan, ceramahnya selesai. Balik ke masjid
sana!”
“Maka
dari itu mbak. Kalau acaranya selesai, berarti semua santri keluar masjid. Jadi
aku bisa melihat kang Yesa.” sambil meringis.
“Ih
dasar Bunga kok...aduh, aku udah nggak kuat.” Susan pun segera masuk ke kamar
mandi setelah menahan perutnya. Bunga pun tertawa terbahak-bahak.
Bunga
bersandar di dinding tempat wudhlu sambil memegang sebuah amplop warna merah.
Memang agak gelap jika malam. Tetapi itulah yang dicarinya, supaya tidak
terlalu terlihat orang banyak. Dia menunggu seorang santri yang bernama Kang
Yesa, lelaki idamannya. Putra dari Nyai pesantren.
Setelah
menunggu hampir sepuluh menit, bahkan sampai Susan keluar dari kamar mandi.
Baru dia melihat para santri keluar dari masjid. Dengan teliti dia mengamati
Kang Yesa supaya tidak salah orang. Tetapi dia tak menemukannya.
“Imron!
Sini!” memanggil dengan suara yang lirih.
“Bunga?
Kenapa kamu di sini? Di tempat gelap seperti ini.” tanyanya penasaran.
“Husst
jangan keras-keras. Kang Yesa dimana?”
“Oww
Kang Yesa...”
“Jangan
keras-keras Im...” sambil membungkam mulut Imron. “Dia dimana?”
“Dia
lagi di ndalem. Katanya, sih, ada urusan sama Nyai. Urusan pentiiing sekali.
Sudah dua hari ini dia tidak ikut pengajian, Bunga.”
Bunga
pun diam terpaku di tempat terlihat lesu. Memangsudah dua hari ini hasilnya nihil.
Apa yang diharapkannya tak kunjung terkabulkan. Hanya ingin mengirimkan surat
untuk santri seperti Kang Yesa yang di idamkannya. Tak kunjung datang waktu
yang tepat.
Di
sudut pesantren terdapat gubuk kecil. Tak pernah terpakai. Tetapi setelah Bunga
merawat dan menghiasnya, gubuk itu tak lagi nampak usang. Di tempat itu lah
Bunga menghabiskan waktunya untuk merenung jika kesepian. Di tempat itu juga
lah dia menulis surat hingga bertumpuk-tumpuk. Setiap seminggu sekali dia
mengoleksi surat yang paling bagus untuk dikirim pada Kang Yesa. Dia melakukan
itu semua selama tiga tahun. Sayangnya, tak ada surat yang sampai di tangan
Kang Yesa. Malang sekali.
Di
tengah lamunannya memikirkan tentang Kang Yesa. Tiba-tiba saja dia dikejutkan
dengan suara para santri putri yang ricuh. Dia pun penasaran dengan apa yang
terjadi disana. Dia berlari dengan cepat dan menyusuri kali kecil. Tiba-tiba
dia terpeleset karena licinnya kali itu. Menjadi kotor dan basah bajunya.
“Mbak
Susan, ada apa, sih?”
“Bunga,
baju kamu kotor sekali. Pasti kamu jatuh lagi?” tanya Susan.
“Sudah
biasa mbak.” sambil terengah-engah mengatur napas. “Ada apa, kok, ramai sekali.
Semuanya pada ngintip ndalem. Ada apa?” tanyanya penasaran.
“Kamu
belum tahu, ya. Calon menantu Nyai hari ini datang.”
“Calon
menantu?” dengan mata melotot Bunga terlihat begitu kaget hingga keluar
keringat dingin dan jantungnya berdetak cepat. Karena yang dia tahu putra dari
Nyai hanyalah satu, pemilik pewaris pesantren, M. Herdan Ayesa. “Maksud mbak
Susan, calon istri Kang Yesa?”
“Iya
lah Bunga, siapa lagi? Kenapa, kamu pasti cemburu, ya? Hayo ngaku?” sambil
bercanda tanpa tahu bagaimana perasaan Bunga yang sebenarnya.
Bunga
pun berlari dengan cepat menuju gubuk kecilnya lagi. Dia tak kuasa menahan rasa
pahit yang ia derita. Tak menghiraukan air matanya jatuh sekalipun di kali
kecil dimana dia terjatuh lagi. Tak hiraukan bajunya kotor tak lagi suci. Tak
hiraukan suara adzan dhuhur yang memanggilnya untuk berjamaah dengan santri
lainnya. Hatinya begitu pahit saat itu. Terbakar api cemburu, lebih dari itu.
“Astagfirullahaladzim”, hanya itu yang diucapkannya. Lalu dia merebahkan tubuhnya
di alas gubuk itu. Sambil menggenggam erat surat merah di pelukannya.
Sudah
dua hari ini Bunga ada di rumah sakit. Yang dilihat ketika pertama membuka
matanya hanyalah Imron dan Susan. Matanya masih buram tak dapat melihat dengan
jelas, baru sadar dari koma.
“Mbak
Susan, Imron, aku dimana?” sambil memegang kepala masih terasa pusing.
“Kamu
di rumahsakit Bunga. Kemarin mbak Susan menemukan kamu di gubuk kecil dalam
keadaan pingsan. Sudah dua hari ini kamu tidak sadar.”
Bunga
hanya terlihat bingung, tak mampu berpikir.
“Sudahlah
Bunga, kamu harus istirahat. Jangan pikir yang lain.” bujuk Imron.
“Kang
Yesa?” tebak Imron.
“Iya..”
sambil tersenyum. “Ini koleksi yang paling bagus lho Im. Aku titip sekarang ya,
aku takut telat.” dia mengulurkan surat merah pada Imron. Imron merasa tak enak
hati mendengar kata-kata terakhir Bunga. Imron terlihat bingung sambil melirik
Susan. “Kenapa Im?” tanya Bunga.
“Tapi
aku nggak bisa dalam situasi seperti ini Bunga. Maaf.”
“Kenapa?
Apa kang Yesa sudah menikah dengan calon yang pernah dibawanya ke ndalem
kemarin?” matanya mulai berkaca-kaca dengan mimik yang terlihat bergetar.
Susan dan
Imron tak dapat berkata apa-apa. Mereka tak tega mengatakan semuanya pada
sahabat kecilnya. Susan yang merasa dewasa, mencoba menjelaskan dengan perlahan
tanpa membuat Bunga menangis untuk kesekian kalinya.
“Kang
Yesa kemarin kecelakaan dengan calon istrinya. Sayangnya, calon istri harus
dipanggil Allah.” Susan mencoba untuk menahan air matanya agar tak jatuh. “Dan
kini Kang Yesa keadaannya sangat kritis. Dia banyak kehabisan darah.
Kemungkinan....”
Bunga
sangat terkejut mendengar semua itu. Dia segera melepas selimut yang menutup
tubuhnya. Dia turun dari kasur, mngambil invus yang ada di gantungan. Dia
berlari keluar kamar. Tak menghiraukan teriakan Susan dan Imron yang mencoba
mencegahnya. Tapi Bunga keras kepala. Dia berhenti di depan kaca ruang Kang
Yesa dirawat. Tak kuasa melihat santri idamannya merasakan sakit begitu berat,
lebih dari dirinya.
Ketika
dokter keluar dari ruangan itu, Bunga menarik tangan dokter itu ke lorong
kecil. Bunga memohon supaya dia diambil darahnya untuk menolong Kang Yesa.
Tetapi dokter menolak. Apapun yang dilakukannya hingga mohon ampun kepada
dokter supaya diizinkannya. Sampai-sampai dia mengambil gunting yang ada
disampingnya untuk menyobek tangannya supaya keluar darah. Dokter tak tega
melihat permohonan Bunga yang terlihat sangat tulus nampak dari air matanya.
Akhirnya dokter mengizinkannya.
Kini
keluarga ndalem dan seluruh santri putra maupun putri digeluti
kebahagiaan dan kedukaan. Bahagia karena Kang Yesa telah kembali ke ndalem
dalam keadaan sehat. Berduka karena Bunga harus kembali ke pangkuan Sang
Pencipta. Betapa sedih dan terpukulnya sahabat seperti Susan dan Imron yang
harus menyampaikan pesan terakhirnya. Dan betapa menyesalnya Kang Yesa yang
telah menyia-nyiakan santriwati yang juga dicintainya harus pergi
meninggalkannya. Kini hanya ada setumpuk surat yang sudah tiga tahun usianya
untuk mewakili perasaan Bunga yang sebenarnya selama ini dia simpan di relung
hatinya paling dalam.
By : Layka..
0 komentar on "Bunga di Sudut Pesantren"
Posting Komentar