Rabu, 22 Februari 2012

Bunga di Sudut Pesantren

Diposting oleh Layka Meyshera di 04.05

Bunga di Sudut Pesantren

Malam ini dingin begitu menusuk tulang. Para santriwati masih duduk terpaku di masjid mendengarkan ceramah Kyai. Tetapi seorang gadis yang duduk di tengah masjid itu tak kuat menahan rasa ingin buang air kecil. Dia pun berlari kecil sambil merunduk ke belakang masjid hendak menuju kamar mandi. Tampak lagi gadis di belakangnya menyusulnya juga.
          “Bunga, kamu juga mau buang air kecil? Antri dulu, ya.” sambil menaikkan roknya.
          “Tidak. Sudah, mbak Susan buang air sana nanti keburu ngompol lho. Hik..hik..”
          “Lantas kamu kenapa ada disini? Sebentar lagi, kan, ceramahnya selesai. Balik ke masjid sana!”
          “Maka dari itu mbak. Kalau acaranya selesai, berarti semua santri keluar masjid. Jadi aku bisa melihat kang Yesa.” sambil meringis.
          “Ih dasar Bunga kok...aduh, aku udah nggak kuat.” Susan pun segera masuk ke kamar mandi setelah menahan perutnya. Bunga pun tertawa terbahak-bahak.
          Bunga bersandar di dinding tempat wudhlu sambil memegang sebuah amplop warna merah. Memang agak gelap jika malam. Tetapi itulah yang dicarinya, supaya tidak terlalu terlihat orang banyak. Dia menunggu seorang santri yang bernama Kang Yesa, lelaki idamannya. Putra dari Nyai pesantren.
          Setelah menunggu hampir sepuluh menit, bahkan sampai Susan keluar dari kamar mandi. Baru dia melihat para santri keluar dari masjid. Dengan teliti dia mengamati Kang Yesa supaya tidak salah orang. Tetapi dia tak menemukannya.
          “Imron! Sini!” memanggil dengan suara yang lirih.
          “Bunga? Kenapa kamu di sini? Di tempat gelap seperti ini.” tanyanya penasaran.
          “Husst jangan keras-keras. Kang Yesa dimana?”
          “Oww Kang Yesa...”
          “Jangan keras-keras Im...” sambil membungkam mulut Imron. “Dia dimana?”
          “Dia lagi di ndalem. Katanya, sih, ada urusan sama Nyai. Urusan pentiiing sekali. Sudah dua hari ini dia tidak ikut pengajian, Bunga.”
          Bunga pun diam terpaku di tempat terlihat lesu. Memangsudah dua hari ini hasilnya nihil. Apa yang diharapkannya tak kunjung terkabulkan. Hanya ingin mengirimkan surat untuk santri seperti Kang Yesa yang di idamkannya. Tak kunjung datang waktu yang tepat.
          Di sudut pesantren terdapat gubuk kecil. Tak pernah terpakai. Tetapi setelah Bunga merawat dan menghiasnya, gubuk itu tak lagi nampak usang. Di tempat itu lah Bunga menghabiskan waktunya untuk merenung jika kesepian. Di tempat itu juga lah dia menulis surat hingga bertumpuk-tumpuk. Setiap seminggu sekali dia mengoleksi surat yang paling bagus untuk dikirim pada Kang Yesa. Dia melakukan itu semua selama tiga tahun. Sayangnya, tak ada surat yang sampai di tangan Kang Yesa. Malang sekali.
          Di tengah lamunannya memikirkan tentang Kang Yesa. Tiba-tiba saja dia dikejutkan dengan suara para santri putri yang ricuh. Dia pun penasaran dengan apa yang terjadi disana. Dia berlari dengan cepat dan menyusuri kali kecil. Tiba-tiba dia terpeleset karena licinnya kali itu. Menjadi kotor dan basah bajunya.
          “Mbak Susan, ada apa, sih?”
          “Bunga, baju kamu kotor sekali. Pasti kamu jatuh lagi?” tanya Susan.
          “Sudah biasa mbak.” sambil terengah-engah mengatur napas. “Ada apa, kok, ramai sekali. Semuanya pada ngintip ndalem. Ada apa?” tanyanya penasaran.
          “Kamu belum tahu, ya. Calon menantu Nyai hari ini datang.”
          “Calon menantu?” dengan mata melotot Bunga terlihat begitu kaget hingga keluar keringat dingin dan jantungnya berdetak cepat. Karena yang dia tahu putra dari Nyai hanyalah satu, pemilik pewaris pesantren, M. Herdan Ayesa. “Maksud mbak Susan, calon istri Kang Yesa?”
          “Iya lah Bunga, siapa lagi? Kenapa, kamu pasti cemburu, ya? Hayo ngaku?” sambil bercanda tanpa tahu bagaimana perasaan Bunga yang sebenarnya.
          Bunga pun berlari dengan cepat menuju gubuk kecilnya lagi. Dia tak kuasa menahan rasa pahit yang ia derita. Tak menghiraukan air matanya jatuh sekalipun di kali kecil dimana dia terjatuh lagi. Tak hiraukan bajunya kotor tak lagi suci. Tak hiraukan suara adzan dhuhur yang memanggilnya untuk berjamaah dengan santri lainnya. Hatinya begitu pahit saat itu. Terbakar api cemburu, lebih dari itu. “Astagfirullahaladzim”, hanya itu yang diucapkannya. Lalu dia merebahkan tubuhnya di alas gubuk itu. Sambil menggenggam erat surat merah di pelukannya.
          Sudah dua hari ini Bunga ada di rumah sakit. Yang dilihat ketika pertama membuka matanya hanyalah Imron dan Susan. Matanya masih buram tak dapat melihat dengan jelas, baru sadar dari koma.
          “Mbak Susan, Imron, aku dimana?” sambil memegang kepala masih terasa pusing.
          “Kamu di rumahsakit Bunga. Kemarin mbak Susan menemukan kamu di gubuk kecil dalam keadaan pingsan. Sudah dua hari ini kamu tidak sadar.”
          Bunga hanya terlihat bingung, tak mampu berpikir.
          “Sudahlah Bunga, kamu harus istirahat. Jangan pikir yang lain.” bujuk Imron.
          “Oh iya Im, aku mau titip surat untuk...”
          “Kang Yesa?” tebak Imron.
          “Iya..” sambil tersenyum. “Ini koleksi yang paling bagus lho Im. Aku titip sekarang ya, aku takut telat.” dia mengulurkan surat merah pada Imron. Imron merasa tak enak hati mendengar kata-kata terakhir Bunga. Imron terlihat bingung sambil melirik Susan. “Kenapa Im?” tanya Bunga.
          “Tapi aku nggak bisa dalam situasi seperti ini Bunga. Maaf.”
          “Kenapa? Apa kang Yesa sudah menikah dengan calon yang pernah dibawanya ke ndalem kemarin?” matanya mulai berkaca-kaca dengan mimik yang terlihat bergetar.
          Susan dan Imron tak dapat berkata apa-apa. Mereka tak tega mengatakan semuanya pada sahabat kecilnya. Susan yang merasa dewasa, mencoba menjelaskan dengan perlahan tanpa membuat Bunga menangis untuk kesekian kalinya.
          “Kang Yesa kemarin kecelakaan dengan calon istrinya. Sayangnya, calon istri harus dipanggil Allah.” Susan mencoba untuk menahan air matanya agar tak jatuh. “Dan kini Kang Yesa keadaannya sangat kritis. Dia banyak kehabisan darah. Kemungkinan....”
          Bunga sangat terkejut mendengar semua itu. Dia segera melepas selimut yang menutup tubuhnya. Dia turun dari kasur, mngambil invus yang ada di gantungan. Dia berlari keluar kamar. Tak menghiraukan teriakan Susan dan Imron yang mencoba mencegahnya. Tapi Bunga keras kepala. Dia berhenti di depan kaca ruang Kang Yesa dirawat. Tak kuasa melihat santri idamannya merasakan sakit begitu berat, lebih dari dirinya.
          Ketika dokter keluar dari ruangan itu, Bunga menarik tangan dokter itu ke lorong kecil. Bunga memohon supaya dia diambil darahnya untuk menolong Kang Yesa. Tetapi dokter menolak. Apapun yang dilakukannya hingga mohon ampun kepada dokter supaya diizinkannya. Sampai-sampai dia mengambil gunting yang ada disampingnya untuk menyobek tangannya supaya keluar darah. Dokter tak tega melihat permohonan Bunga yang terlihat sangat tulus nampak dari air matanya. Akhirnya dokter mengizinkannya.
          Kini keluarga ndalem dan seluruh santri putra maupun putri digeluti kebahagiaan dan kedukaan. Bahagia karena Kang Yesa telah kembali ke ndalem dalam keadaan sehat. Berduka karena Bunga harus kembali ke pangkuan Sang Pencipta. Betapa sedih dan terpukulnya sahabat seperti Susan dan Imron yang harus menyampaikan pesan terakhirnya. Dan betapa menyesalnya Kang Yesa yang telah menyia-nyiakan santriwati yang juga dicintainya harus pergi meninggalkannya. Kini hanya ada setumpuk surat yang sudah tiga tahun usianya untuk mewakili perasaan Bunga yang sebenarnya selama ini dia simpan di relung hatinya paling dalam.


By : Layka..

0 komentar on "Bunga di Sudut Pesantren"

Posting Komentar

Rabu, 22 Februari 2012

Bunga di Sudut Pesantren

Diposting oleh Layka Meyshera di 04.05

Bunga di Sudut Pesantren

Malam ini dingin begitu menusuk tulang. Para santriwati masih duduk terpaku di masjid mendengarkan ceramah Kyai. Tetapi seorang gadis yang duduk di tengah masjid itu tak kuat menahan rasa ingin buang air kecil. Dia pun berlari kecil sambil merunduk ke belakang masjid hendak menuju kamar mandi. Tampak lagi gadis di belakangnya menyusulnya juga.
          “Bunga, kamu juga mau buang air kecil? Antri dulu, ya.” sambil menaikkan roknya.
          “Tidak. Sudah, mbak Susan buang air sana nanti keburu ngompol lho. Hik..hik..”
          “Lantas kamu kenapa ada disini? Sebentar lagi, kan, ceramahnya selesai. Balik ke masjid sana!”
          “Maka dari itu mbak. Kalau acaranya selesai, berarti semua santri keluar masjid. Jadi aku bisa melihat kang Yesa.” sambil meringis.
          “Ih dasar Bunga kok...aduh, aku udah nggak kuat.” Susan pun segera masuk ke kamar mandi setelah menahan perutnya. Bunga pun tertawa terbahak-bahak.
          Bunga bersandar di dinding tempat wudhlu sambil memegang sebuah amplop warna merah. Memang agak gelap jika malam. Tetapi itulah yang dicarinya, supaya tidak terlalu terlihat orang banyak. Dia menunggu seorang santri yang bernama Kang Yesa, lelaki idamannya. Putra dari Nyai pesantren.
          Setelah menunggu hampir sepuluh menit, bahkan sampai Susan keluar dari kamar mandi. Baru dia melihat para santri keluar dari masjid. Dengan teliti dia mengamati Kang Yesa supaya tidak salah orang. Tetapi dia tak menemukannya.
          “Imron! Sini!” memanggil dengan suara yang lirih.
          “Bunga? Kenapa kamu di sini? Di tempat gelap seperti ini.” tanyanya penasaran.
          “Husst jangan keras-keras. Kang Yesa dimana?”
          “Oww Kang Yesa...”
          “Jangan keras-keras Im...” sambil membungkam mulut Imron. “Dia dimana?”
          “Dia lagi di ndalem. Katanya, sih, ada urusan sama Nyai. Urusan pentiiing sekali. Sudah dua hari ini dia tidak ikut pengajian, Bunga.”
          Bunga pun diam terpaku di tempat terlihat lesu. Memangsudah dua hari ini hasilnya nihil. Apa yang diharapkannya tak kunjung terkabulkan. Hanya ingin mengirimkan surat untuk santri seperti Kang Yesa yang di idamkannya. Tak kunjung datang waktu yang tepat.
          Di sudut pesantren terdapat gubuk kecil. Tak pernah terpakai. Tetapi setelah Bunga merawat dan menghiasnya, gubuk itu tak lagi nampak usang. Di tempat itu lah Bunga menghabiskan waktunya untuk merenung jika kesepian. Di tempat itu juga lah dia menulis surat hingga bertumpuk-tumpuk. Setiap seminggu sekali dia mengoleksi surat yang paling bagus untuk dikirim pada Kang Yesa. Dia melakukan itu semua selama tiga tahun. Sayangnya, tak ada surat yang sampai di tangan Kang Yesa. Malang sekali.
          Di tengah lamunannya memikirkan tentang Kang Yesa. Tiba-tiba saja dia dikejutkan dengan suara para santri putri yang ricuh. Dia pun penasaran dengan apa yang terjadi disana. Dia berlari dengan cepat dan menyusuri kali kecil. Tiba-tiba dia terpeleset karena licinnya kali itu. Menjadi kotor dan basah bajunya.
          “Mbak Susan, ada apa, sih?”
          “Bunga, baju kamu kotor sekali. Pasti kamu jatuh lagi?” tanya Susan.
          “Sudah biasa mbak.” sambil terengah-engah mengatur napas. “Ada apa, kok, ramai sekali. Semuanya pada ngintip ndalem. Ada apa?” tanyanya penasaran.
          “Kamu belum tahu, ya. Calon menantu Nyai hari ini datang.”
          “Calon menantu?” dengan mata melotot Bunga terlihat begitu kaget hingga keluar keringat dingin dan jantungnya berdetak cepat. Karena yang dia tahu putra dari Nyai hanyalah satu, pemilik pewaris pesantren, M. Herdan Ayesa. “Maksud mbak Susan, calon istri Kang Yesa?”
          “Iya lah Bunga, siapa lagi? Kenapa, kamu pasti cemburu, ya? Hayo ngaku?” sambil bercanda tanpa tahu bagaimana perasaan Bunga yang sebenarnya.
          Bunga pun berlari dengan cepat menuju gubuk kecilnya lagi. Dia tak kuasa menahan rasa pahit yang ia derita. Tak menghiraukan air matanya jatuh sekalipun di kali kecil dimana dia terjatuh lagi. Tak hiraukan bajunya kotor tak lagi suci. Tak hiraukan suara adzan dhuhur yang memanggilnya untuk berjamaah dengan santri lainnya. Hatinya begitu pahit saat itu. Terbakar api cemburu, lebih dari itu. “Astagfirullahaladzim”, hanya itu yang diucapkannya. Lalu dia merebahkan tubuhnya di alas gubuk itu. Sambil menggenggam erat surat merah di pelukannya.
          Sudah dua hari ini Bunga ada di rumah sakit. Yang dilihat ketika pertama membuka matanya hanyalah Imron dan Susan. Matanya masih buram tak dapat melihat dengan jelas, baru sadar dari koma.
          “Mbak Susan, Imron, aku dimana?” sambil memegang kepala masih terasa pusing.
          “Kamu di rumahsakit Bunga. Kemarin mbak Susan menemukan kamu di gubuk kecil dalam keadaan pingsan. Sudah dua hari ini kamu tidak sadar.”
          Bunga hanya terlihat bingung, tak mampu berpikir.
          “Sudahlah Bunga, kamu harus istirahat. Jangan pikir yang lain.” bujuk Imron.
          “Oh iya Im, aku mau titip surat untuk...”
          “Kang Yesa?” tebak Imron.
          “Iya..” sambil tersenyum. “Ini koleksi yang paling bagus lho Im. Aku titip sekarang ya, aku takut telat.” dia mengulurkan surat merah pada Imron. Imron merasa tak enak hati mendengar kata-kata terakhir Bunga. Imron terlihat bingung sambil melirik Susan. “Kenapa Im?” tanya Bunga.
          “Tapi aku nggak bisa dalam situasi seperti ini Bunga. Maaf.”
          “Kenapa? Apa kang Yesa sudah menikah dengan calon yang pernah dibawanya ke ndalem kemarin?” matanya mulai berkaca-kaca dengan mimik yang terlihat bergetar.
          Susan dan Imron tak dapat berkata apa-apa. Mereka tak tega mengatakan semuanya pada sahabat kecilnya. Susan yang merasa dewasa, mencoba menjelaskan dengan perlahan tanpa membuat Bunga menangis untuk kesekian kalinya.
          “Kang Yesa kemarin kecelakaan dengan calon istrinya. Sayangnya, calon istri harus dipanggil Allah.” Susan mencoba untuk menahan air matanya agar tak jatuh. “Dan kini Kang Yesa keadaannya sangat kritis. Dia banyak kehabisan darah. Kemungkinan....”
          Bunga sangat terkejut mendengar semua itu. Dia segera melepas selimut yang menutup tubuhnya. Dia turun dari kasur, mngambil invus yang ada di gantungan. Dia berlari keluar kamar. Tak menghiraukan teriakan Susan dan Imron yang mencoba mencegahnya. Tapi Bunga keras kepala. Dia berhenti di depan kaca ruang Kang Yesa dirawat. Tak kuasa melihat santri idamannya merasakan sakit begitu berat, lebih dari dirinya.
          Ketika dokter keluar dari ruangan itu, Bunga menarik tangan dokter itu ke lorong kecil. Bunga memohon supaya dia diambil darahnya untuk menolong Kang Yesa. Tetapi dokter menolak. Apapun yang dilakukannya hingga mohon ampun kepada dokter supaya diizinkannya. Sampai-sampai dia mengambil gunting yang ada disampingnya untuk menyobek tangannya supaya keluar darah. Dokter tak tega melihat permohonan Bunga yang terlihat sangat tulus nampak dari air matanya. Akhirnya dokter mengizinkannya.
          Kini keluarga ndalem dan seluruh santri putra maupun putri digeluti kebahagiaan dan kedukaan. Bahagia karena Kang Yesa telah kembali ke ndalem dalam keadaan sehat. Berduka karena Bunga harus kembali ke pangkuan Sang Pencipta. Betapa sedih dan terpukulnya sahabat seperti Susan dan Imron yang harus menyampaikan pesan terakhirnya. Dan betapa menyesalnya Kang Yesa yang telah menyia-nyiakan santriwati yang juga dicintainya harus pergi meninggalkannya. Kini hanya ada setumpuk surat yang sudah tiga tahun usianya untuk mewakili perasaan Bunga yang sebenarnya selama ini dia simpan di relung hatinya paling dalam.


By : Layka..

0 komentar:

Posting Komentar

 

Kumpulan Cerpen By Lay Copyright 2009 Sweet Cupcake Designed by Ipiet Templates Image by Tadpole's Notez