Kado Terindah
Aku suka sekali menghabiskan waktuku di kamar. Bukan berati aku
hanya tidur sepuasnya. Hal yang paling sering aku lakukan adalah menulis.
Menulis apa saja yang aku suka. Bahkan mataku sudah peka di depan laptop karena
aku suka menulis novel. Walaupun belum pernah terbit, aku senang karena aku enjoy
saat menulis. Dan aku juga punya cita-cita menjadi seorang penulis.
Kebiasaan yang aku gemari itu ternyata tak begitu disuka dalam
keluargaku, terutama ayahku. Dia sama sekali tak suka jika aku menulis, apalagi
menjadi seorang penulis. Ayah selalu membimbingku untuk fokus pada kuliah. Ayah
selalu memaksaku untuk belajar, untuk rajin, untuk tekun, padahal aku tak suka.
Memang aku terbilang anak tak pandai. Tetapi bukan berati aku tak punya talent,
ayah sama sekali tak mengerti aku.
Suatu ketika aku ada jadwal kuliah, aku pura-pura sakit. Akhirnya
ayah mengizinkan aku supaya tidak masuk dan istirahat di kamar. Tentunya aku
tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Segera ku buka laptopku dan jari-jariku
mulai menari sesuka hati. Aku merasa lebih nyaman berimajinasi daripada
belajar. Berimajinasi sesuka hati tanpa ada paksaan sedikitpun. Tetapi ketika
aku sedang asyik menulis novel, tiba-tiba saja ayahku masuk ke kamarku tanpa
permisi.
“Kesha, apa-apaan kamu? Bukannya kamu harus istirahat? Atau kamu
bohong sama ayah kalau sebenarnya kamu tidak sakit, ha?” mata ayah melotot
memandangku.
“Tapi, yah! Please!” akupun memohon pengertian dengan rasa takut.
“Berapa kali ayah bilang, kamu tidak boleh menulis, ayah tak suka!
Kamu harus fokus dengan kuliah kamu dan kamu akan menjadi penerus di kantor
ayah nantinya.”
“Ayah! Aku sudah dewasa, aku berhak menentukan hidupku tanpa dipandu
ayah lagi. Aku tak suka dipaksa. Aku ingin bebas!”
“Berani kamu, ya!”
Plak...” tangan ayah telah berhasil mendarat di pipiku kali ini.
“Ayah, hentikan! Berhenti memaksa Kesha lagi. Dia sudah dewasa.
Benar apa yang dia bilang, dia berhak menentukan hidupnya!” ibuku selalu membelaku
di saat-saat genting seperti ini.
“Aku kecewa sama ayah. Aku benci ayah!” aku pun menangis tak kuat
menahan rasa sakit di pipi terlebih di hatiku. Akupun segera mengemasi laptopku
dan aku segera keluar rumah. aku tak tahan dengan sikap ayah yang selalu
memaksaku. Aku ingin bebas terbang bersama imajinasi yang sudah aku kubur di
pundi-pundi memoriku.
“Hai, Kesha. Sedang apa?” tiba-tiba datang seorang laki-laki yang
langsung duduk di sebelahku.
“Fino?” aku terkejut melihat Fino yang sudah lama tak jumpa
dengannya.”Ehm, apa kabar kamu?”
“Baik. Kamu kenapa ke taman bawa-bawa laptop segala. Ngapain?”
tanyanya penasaran.
“Ehm, mau cari inspirasi.” kubalas dengan senyuman.
“Inspirasi? Buat apa?”
“Buat tulisan aku. Ya, buat cerpen aku, novel aku. Semuanya.”
jari-jariku masih tetap sibuk di atas keybord laptop.
“Oww, masih suka nulis juga? Ayah kamu?”
“Huuft, itu dia yang jadi masalah. Aku sering kabur darinya cuman
gara-gara aku harus selamatin tulisan aku. Pahit ya kalau inget pas dulu ayah
pernah buang draft novel aku yang pertama. Dia sama sekali tak menghargaiku.”
“Tapi aku sama sekali belum pernah
membaca tulisan kamu lho Key. Boleh nggak aku pinjam tulisan kamu?”
“Of course, boleh lah. Dibaca nggak? Kamu kan, sibuk kuliah. Secara
gitu, kan, kamu anak pinter, rajin lagi.”
“Jangan berlebih. Pasti aku sempetin baca kok Key.” dia membalas
dengan senyum kepastian.
Walaupun ayah tak suka jika aku menulis, aku tak kehilangan akal
untuk tetap mngembangkan talentku. Aku menulis beberapa cerpenku di blogku.
Karena itu lebih aman daripada dalam bentuk draft yang bisa diambil dan dibuang
ayah kapan saja.
Ternyata tulisan yang aku tulis di blog menarik beberapa orang.
Salah satunya Mas Doni. Kebetulan dia adalah seorang editor. Bahkan dia
menawarkanku untuk menjual tulisanku di pasaran. Aku sangat girang saat itu
karena aku pikir aku akan bisa menunjukkan pada ayah bahwa tulisanku ini ada
manfaatnya.
“Ayah, Ibu, aku mau tanya
sesuatu. Mungkin ini sedikit mengejutkan buat kalian. Tapi hal ini benar-benar
penting buat Kesha.”
“Ada apa Key? Tak seperti
biasanya kamu bicara penting dengan kita seperti ini.
“Ehm, setelah aku pikir-pikir, aku memutuskan untuk berhenti kuliah
Bu, Yah.”
“Apa kamu bilang? Kamu pikir selama ini ayah menguliahkan kamu untuk
apa, ha?”
“Yah, tapi aku nggak suka. I love to do, and to do for love. Kalau
aku lanjutkan kuliah aku juga bakalan rugi. Aku nggak pernah suka dan nggak
akan suka.”
“Tapi apa kamu yakin, Key?” ibu mencoba menenangkan suasana.
“Aku yakin, Bu. aku akan buktikan kalau aku ini bisa tanpa kuliah.
Dan aku akan menjadi seorang penulis handal. Sebentar lagi bukuku pasti
terbit.”
“Jangan mimpi kamu. Ingat ya Key, jangan sampai berharap minta
tolong ayah jika kamu ternyata gagal. Ingat itu!” ayah langsung meninggalkanku
pergi. Hatiku semakin kecil karena aku merasa tak ada dorongan lagi, kecuali
ibuku.
Keesokan harinya aku bertemu dengan mas Doni. Orangnya begitu ramah.
Dan yang sangat mengejutkan adalah ternyata dia tahu tentang cerpenku dari
Fino. Hmm, aku tak menyangka Fino sebaik itu padaku. Dan kitapun mulai bekerja
sama. Satu per satu aku berikan novelku pada mas Doni, dibantu dengan Fino
juga. Lalu di edit oleh mas Doni hingga semuanya menjadi sangat indah dan rapi.
Akhirnya satu per satu cerpen dan novel yang selama ini aku buat bisa terbit
juga. Aku bangga sekali karena bukuku sudah dipajang di toko-toko buku dan di
beberapa perpustakaan. Bahkan banyak yang laku dijual. Namaku, Kesha Alisabeth
juga semakin melambung tinggi sebagai penulis muda yang berjiwa talent. Semua
itu berkat mas Doni dan Fino yang setia membantuku.
Sayangnya selama karierku ini berjalan dengan baik, ayah tak pernah
ingin tahu. Aku pun tak pernah memberitahunya, bahkan tak pernah pulang. Selama
aku berkarya aku tinggal di apartement ayah. Aku pun juga rindu dengan ibu.
Ingin sekali rasanya memberi tahunya bahwa sekarang ini aku telah berhasil. Aku
bisa mewujudkan mimpiku yang selama ini selalu dikekang. Tapi aku tahu ini
belum saatnya untuk bertemu dengan mereka.
Betapa bahagianya aku hari ini. Tepat di hari ulang tahunku yang ke
20. Ingin sekali aku merayakannya di rumah sama seperti tahun-tahun sebelumnya.
Mendapat sentuhan hangat dari ibu dan kado terbaik dari ayah. Tapi aku pikir
aku sudah dewasa, aku mandiri. Aku tak mengharapkan itu lagi. Hidupku serasa
selalu terpisah dari orang tuaku.
Ketika itu aku ada jadwal jumpa pers. Aku senang sekali karena
banyak fans yang hadir saat itu. Mereka juga mengikuti bedah novelku. Aku tak
menyangka bahwa banyak orang yang
menyukai novel pertamaku, Bunga di Sudut Pesantren. Dan hal yang paling aku
kejutkan adalah ketika aku melihat ayah dan ibuku hadir pula dalam jumpa pers.
Aku pun menangis dalam kebahagiaan. Tak kusangka hati ayah telah luluh dan bisa
menghargai aku.
“Ayah.” aku memeluk dalam dekapannya. “Aku tak menyangka ayah mau
datang.”
“Ayah bangga padamu Key, sekarang ayah percaya padamu karena kamu
telah membuktikannya.” senyuman ayah yang lebar membuatku semakin tenang.
“Selamat ulang tahun, sayang.” tiba-tiba ibu datang dengan membawa
kue tart. “Ayo tiup lilinnya, make a wish dulu ya, Kesha sayang.”
Akupun meniupkan lilinnya. Setelah berkumpul bersama untuk potong
kue, bersama mas Doni dan Fino juga. Betapa bahagianya sekali aku hari ini.
Akhirnya aku bisa berkumpul lagi dengan orang tuaku. Dalam situasi yang sangat
sempurna, lebih dari tahun-tahun sebelumnya. Dan ini lah kado terindah yang
pernah aku dapat.
By : Layka